Rabu, 25 Oktober 2017

Akhir yang Terakhir

Selamat siang, antariksa. Dengan Bumi sebagai tokoh utama.

Dengar, aku tak ingin berbasa-basi lebih lama. Sebab seluruh yang ingin kuucapkan hanyalah salam perpisahan.

Ya, aku ingin mengakhiri semua imaji indah ini.

Bukan, bukan karena jengah, lelah, bosan atau semacamnya semata.

Aku hanya, merasa cukup. Sebab kupikir sudah sepantasnya kisah tentang semesta ini berakhir seiring dengan berakhirnya lembar-lembar kisahku di putih abu-abu.

Kupikir sudah sepantasnya aku memulai lembaran baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang tanpa bisa kucegah, begitu memengaruhiku.

Bisakah kalian pahami keputusanku ini, antariksa?

Tentu saja bisa, bukan? Sebab, apalah aku ini. Hanya serpihan debu yang bahkan belum menjadi nebula.

Jadi, apalah beratnya bagi kalian melihat terlepasnya seluruh analogi tentang angkasa ini dari imaji.
Meski tadinya sempat aku terpikir; Selama semesta masih ada, kisah ini tentu tak akan kehabisan cerita,

Tapi nyatanya, kini aku paham. Bahwa memang ada satu dua hal yang mesti kita akhiri sendiri, karena keputusan kita pribadi. Bukan karena ia memang sudah tak berkelanjutan lagi.

Contohnya hal ini.

Bumi masih ada. Mars masih ada. Bulan masih ada. Phobos masih ada. Deimos masih ada. Bintang masih ada. Orion masih ada. Jupiter masih ada. Nebula masih bekerja. Bahkan satelit planet-planet lain di tata surya masih sempurna. Jadi kisah mereka tentulah belum binasa.

Tapi di sini, hanya aku. Hanya aku yang memutuskan bahwa semua cukup sampai di sini saja. 

Biarkan aku meninggalkan antariksa beserta instrumennya itu berkisah sesuka mereka. Biarkan aku berhenti mengusik aktivitas mereka. Kuputuskan selesai menceritakan ulang kisah mereka. Dengan keberadaanku ditengah-tengahnya.

Selesai. Semua selesai disini. Seiring dengan aku yang tak menyandang gelar ‘siswa’ lagi. Sebab setelah ini, aku akan menjadi maha –

Dan terkhusus untuk kau, Bumi :

Kuputuskan selesai untuk mengontakmu baik secara sengaja, tak sengaja, terang-terangan, ataupun diam-diam.
Kuputuskan cukup untuk mengaku-aku seolah aku memang sepatutnya bersanding denganmu.
Kuputuskan berhenti menjadi Mars.

Menjadi Mars-mu.

Kuucapkan Terima kasih.

Terima kasih atas cerita-cerita tengah malam yang tak segan tiap malam kita lakonkan.
Terima kasih atas semangat yang kau kobarkan sepanjang aku kesulitan.
Terima kasih atas nasihat yang kau lantunkan tiap kali kubuat kesalahan.
Terima kasih atas ilmu yang tak segan kaubagikan disaat aku sendiri tak sadar aku memang butuh kau ajarkan.
Terima kasih atas perhatian yang dapat kurasakan sekalipun kau merasa tak pernah mencurahkan.
Terima kasih untuk tak menolak mentah-mentah rasa yang serta-merta kuutarakan.
Terima kasih atas segala kenangan yang sempat kau ukirkan dua setengah tahun belakangan.

Terima kasih, sungguh terima kasih.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari deskripsi manusawi, tapi tetap; terima kasih.

Kuucapkan maaf.

Maaf untuk segala rasa yang begitu berlebihan sampai membuatmu jengah hingga tak tahan.
Maaf untuk segala kerepotan yang kau tanggungkan akibat aku yang cari perhatian.
Maaf untuk segala ‘kode’ yang sampai maupun tak tersampaikan.
Maaf untuk segala ukiran janji yang tak kuasa untuk kutepati. Sungguh, aku punya alasan untuk itu.
Maaf untuk memori tentang kau, aku, dan kita yang barangkali kelak tak ingin kuingat-ingat lagi.
Maaf untuk segala rindu yang tercurah tidak melalui tempat yang semestinya.
Maaf untuk tidak mencintaimu karena Dia.

Maaf, sungguh maaf.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari berkesan untuk kita kenang, tapi tetap; maaf.

Terima kasih.
Maaf.
Dan akhirnya... selamat tinggal.

Aku melepasmu.


“As time goes on you’ll understand. What lasts, last; what doesn’t, does not. Time solves most things. And what time can’t solve, you have to solve it yourself.”
–Haruki Murakami–


23/05/’17
Dieny A.

Jumat, 09 Juni 2017

Etika Berdakwah - Bertahan dan Pergi

Ketika niat bertahan hanya karena merasa banyak orang yang membutuhkan, maka kelak kita akan memilih pergi karena merasa tak ada orang yang membutuhkan.
Lantas perjalanan kita akan berujung seperti kisah Nabi Yunus a.s. Beliau pergi, karena merasa tak dibutuhkan. Merasa dakwahnya sia-sia.

Maka teladanilah kisah Nabi Musa a.s. Yang sekalipun menjadi buron Raja Fir'aun, dia tetap kembali ke hadapan kaumnya untuk mendakwahi.
Bukan karena merasa dibutuhkan, tetapi karena beliau alaihissalam merasa butuh amanah dakwah tersebut, agar menjadi hamba yang taat.

Sebab nyatanya, memang bukan Allah-lah yang butuh kita. Tapi kita yang butuh Allah.
Seperti halnya bukan obyek dakwah kita yang butuh kita. Tetapi kita yang butuh mereka untuk menjadi saksi atas amal jariyah kita di akhirat.

Jadi, untukmu. Yang barangkali pernah saya dakwahi.
Maaf, jangan ge-er. Saya tidak akan bertahan karena merasa dibutuhkan.
Sebab, kalaupun saya menetap, itu karena Allah yang menghendakinya. Bukan karena manusia.

Dan untukmu, yang memiliki persoalan serupa dengan saya.
Jangan pernah lelah. Jangan pernah putus asa. Jangan menyerah mencari ridho Allah.
Sebab ini 'ladang'mu. 'Ladang' yang Allah sediakan untuk kau garap. Allah itu Maha Kuasa. Kalau Dia mau, bisa saja detik ini juga Dia datangkan sosok yang jauh lebih unggul dari dirimu untuk menuntaskan 'ladang' ini. Mengambil alih 'ladang' milikmu ini.

Namun kalau sudah begitu, nanti kamu dapat apa? 'Panen' dari 'ladang' tersebut tentulah dihakmiliki oleh sosok yang menaklukkannya. Bukan dirimu.

Maka sekali lagi, jangan pernah lelah, jangan pernah putus asa, jangan menyerah. Jangan biarkan satu detik yang kamu miliki di dunia ini terlewatkan dengan sia-sia.

Capek? Istirahatnya nanti, di surga saja.




Bekasi, 9/6/17
Terinspirasi dari: tulisan di instastory mbak Luluk Gusliansyah
Dieny A.

Kamis, 04 Mei 2017

Antara SNMPTN dan SBMPTN

Assalamu'alaikum, sobat kelas dua belas!
Tentu sudah menerima hasil SNMPTN, kan?

Nah, sesuai judul yang saya terakan di atas, saya ingin mengajak sobat sekalian untuk sharing seputar masuk PTN.

Pertama-tama, saya ucapkan selamat kepada teman-teman yang lolos. Selamat, kalian tidak perlu melanjutkan persaingan untuk masuk PTN yang kalian inginkan. Selamat, kalian hanya tinggal melakukan daftar ulang di PTN terkait untuk bisa dilabeli sebagai mahasiswa baru mereka. Dan selamat, untuk hasil luar biasa yang kalian raih sebagai balasan usaha kalian 'mengejar nilai' tiga tahun kebelakang.
Akan saya ingatkan pada kalian satu dan beberapa hal. Pertama, jangan sombong. Sekali lagi, jangan, sobat. Sombong itu mutlak dilarang, entah oleh agama maupun oleh tata krama. Sebab sejatinya, apa yang mau kalian sombongkan? Diterimanya kalian di PTN? Saya rasa itu bukan sepenuhnya usaha kalian. Sebab sampai saat ini, krieria penerimaan undangan ini hanya rektor dan Tuhan yang tahu. Kalian bisa apa? Boleh jadi, justru ada hati yang tersakiti akibat kesombongan kalian, lantas mendoakan hal-hal yang kurang berkenan untuk kalian. Nah loh, jangan sampai kejadian, ya!
Kedua, apakah nilai yang kalian peroleh itu halal? Maaf bila saya sedikit menggurui. Memang bukan hak saya menentukan sesuatu itu halal atau haram. Tapi disini, maksud saya lebih mengarah kepada : bagaimana cara kalian memperoleh nilai tersebut? Tidak bisa kita pungkiri, banyak guru di sekolah kita masing-masing yang tidak memberi nilai secara obyektif. Bahkan, ada sebagian dari kita yang memang sengaja untuk tidak meng-obyektif-kan diri, saya rasa. Yah, terlalu pribadi memang. Toh, disini maksud saya memang untuk introspeksi sama-sama.
Sobat, adakalanya nilai yang kita peroleh ini tidak sesuai dengan kemampuan kita yang sesungguhnya. Kasarnya, kita tidak bisa mempertanggungjawabkan nilai yang kita dapat ini. Nah, inilah yang saya maksudkan dengan nilai yang tidak halal. Atau lebih sopannya, tidak berkah barangkali.
Bagaimana hukumnya jikalau kita memulai hidup baru (re: kuliah) yang diawali dengan suatu ketidakberkahan? Well, saya bukan ulama yang bisa menetapkan halal dan haram, berkah dan tidak berkah. Maka saya tegaskan lagi, ini untuk introspeksi bersama saja.
Terakhir untuk sobat yang lolos SNMPTN, saya sematkan sebuah doa buat kalian. Semoga, apa-apa yang kalian peroleh ini senantiasa dinaungi oleh ridho Allah SWT, semakin mendekatkan hati dan jiwa raga kita kepada-Nya, serta sekaligus menjadi jihad fisabilillah bagi kita semua. Sebab percuma kita mendapatkan sesuatu namun kita kehilangan Allah. Na'udzubillahi mindzalik, semoga kita semua terhindar dari ha-hal merugikan yang demikian.

Selanjutnya, bagi para pejuang yang dipercaya Allah untuk meneruskan perjuangannya menuju dunia perkuliahan melalui SBMPTN, saya ucapkan selamat.
Loh, kok selamat juga? Iya, selamat untuk tidak menyerah. Selamat untuk tidak menyalahkan takdir yang telah ditetapkan Allah SWT. Dan selamat untuk kepercayaan yang telah Allah letakkan di pundakmu bahwa kalian pasti bisa.
Ingat, Allah menakdirkan karena Dia percaya kita bisa. Apapun itu, yang telah ditetapkan oleh Allah, artinya itu adalah kisah terbaik yang kelak akan kita ceritakan pada anak dan cucu saat bernostalgia. Allah penulis skenario terbaik, percayai itu!
Masalah kecewa, tentu tidak masalah. Sudah fitrahnya manusia merasa kecewa saat apa yang dia maui tidak terkabul. Tapi jangan berlebihan. Kalian tahu 'kan, kecewa datangnya darimana? Yup! Dari hati yang berharap kepada selain-Nya. Waduh, berarti saat kita kecewa, artinya kita sedang kecolongan. Makanya, cepat-cepatlah mengembalikan harap ini kepada pemilik yang sebenarnya. Yang tidak mungkin membuat kecewa.
Lagipula kalau dipikir lebih jauh, coba deh kita introspeksi diri. Memangnya sudah seberapa bagus kualitas dan kuantitas ibadah kita?
Atau, sudah berapa banyak kita lalai akan kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba-Nya?
Sudah berapa kali kita buat Allah kecewa?
Terus, baru kali ini Allah tidak mengabulkan apa yang kita mau, kita langsung seenaknya kecewa.
Memangnya pantas?
Memangnya kita punya hak untuk kecewa?
Maka dari itu sobat, cobalah untuk bersyukur. bersyukur karena sekali lagi kita diberi momen untuk menyadarkan diri kita terhadap kesalahan dan kelalaian yang telah kita perbuat. Betapa angkuhnya kita tempo-tempo lalu.
Dan, buktikan. Bahwa kita siap untuk segera bangkit! Jangan lama-lama terpuruk dalam pojok kenestapaan. Begitu menemukan hikmahnya, ayo cepat-cepat bangkit! Jangan tertinggal untuk membabat habis SBMPTN.
Kalian bisa, yakinlah bahwa Allah tidak akan menepatkan kita pada posisi yang tidak bisa kita tangani.
Pesan saya, dalam setiap tahapan perjuangan, jangan lupa untuk senantiasa melibatkan Allah. Berdoalah setiap saat. Agar dipilhkan-Nya seusatu yang Dia rasa terbaik buat kita, agar dilancarkan-Nya ujian yang akan kita hadapi, agar dimudahkan jalan kita untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan segala 'agar' lainnya yang terbesit di hati kalian.
Semoga kita semua berhasil sesuai definisi berhasil kita masing-masing, seraya tetap berada dibawah naungan Allah SWT.

Barangkali, cukup sekian yang bisa saya ulas kali ini. Omong-omong, jika kalian bertanya-tanya dalam  hati, saya adalah termasuk golongan kedua yang saya bahas di atas, hehe. Maka dari itu, tulisan di atas hanyalah karya seorang amatir yang belum berhasil merengkuh PTN-nya. So, jangan terlalu diambil hati apabila ada salah-salah kata.

Lebih kurangnya saya mohon maaf, wassalamu'alaikum!
See ya soon.

Senin, 17 April 2017

Ciptaan Naif

Selamat siang, terik.  Bolehkah kuminta sedikit waktumu untuk bercerita tentang Bumi?
Boleh, ya?

Kau tentu sudah dengar bukan, bahwasanya beberapa waktu lalu aku sempat berc
erita pada senja tentang satelit buatan manusia yang menjadikan aku dan Bumi saling bertukar kabar?

Lantas, aku meminta senja untuk membantuku melawan koneksi itu lantaran takut hempasan meteor itu terlalu dalam hingga tak sanggup kuhilangkan.

Jadi begini, terik.Kami sudah berhenti berhubungan. Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang terjadi pada Bumi maupun satelit itu sehingga tak sekalipun dia menghubungiku.

Bagus? Tentu saja.
Aku bersyukur sekali. Akhirnya kami bisa menjalani orbit masing-masing tanpa berusaha saling menindih.

Eh, saling? Haha...
Entahlah, ini hanya aku yang merasa atau bagaimana. Sebab dari kemarin, sepertinya memang Bumi lah yang senantisa mengontakiku.

Tapi, yah... salahku juga, sih. Membuat kabar ataupun pernyataan yang memancingnya untuk bertanya lebih jauh.

Jadi, terik. Apakah pantas bila kusebut ini saling?
Apa hanya dia? Atau hanya aku?

Sebenarnya, akupun bingung, terik. Aku senang kami tak berhubungan. Tapi tetap saja, kehilangan itu pasti ada.

Aku senang kami berhubungan, sampai membuat kabar agar dia hubungi malah. Tapi tetap saja, kekhawatiran bahkan ketakutan akan dosa itu selalu menghantui.

Maka menurutmu, terik. Manakah yang harus kuutamakan?

Ah, tentu saja. Jawabannya adalah Dia.

Aku harus mengutamakan Dia bukan?

Sebab bahkan aku tak tahu marabahaya apa yang barangkali bisa menimpaku seiring dengan kesenanganku berhubungan dengannya.
Ya, begitulah. Terkadang ciptaan-ciptaan-Nya ini terlalu naif dalam menghadapi suatu hal yang 
bertipe duniawi.

Eh, atau hanya aku?
Mungkin. Mungkin saja memang hanya aku ciptaannya yang luar biasa naif dalam menanggapi segala cobaan hidup.

Haha, naif.
Tidak, terik. Aku tidak mau jadi naif. Aku harus berjuang menegakkan apa-apa yang kuanggap benar.
Sebab yang benar, belum tentu menyenangkan, bukan? Ya, menegakkan kebenaran itu perihal susah.

Ya. Aku bisa.
Aku. Pasti. Bisa.
‘Kan, terik?


15/04/’17
Dieny A.

Senin, 13 Maret 2017

Perihal Biasa dan Tak Biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Adalah perihal yang biasa mereka lihat angin mencipta riak
Belanja di mall,baru luar biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Bukan perihal istimewa ketika mereka lihat senja ditelan ombak
Naik wahana di taman wista, baru istimewa

Sebab hari-hari, merekalah saksi atas atraksi yang angin dan ombak lakoni

Anak-anak laut lain dengan anak-anak kota
Bapak-bapak nelayan berbeda dengan bapak-bapak karyawan
Ibu-ibu petani garam pun tak sama dengan ibu-ibu arisan

Sebab beda lokasi, beda pula yang diamati
Semua ini hanya perihal biasa dan tak biasa

Sederhana dan istimewa, itu ilusi
Semua ini hanya perihal biasa da tak biasa

Yang terus saja berotasi
Hingga bosan, lantas mati


26-12-'14
Inspirasi : berkas senja di Selat Sunda

Tentang Sebuah Jalan

Kupikir semua ini mudah. Meskipun pasti tak semudah membalikkan telapak tangan. Atau kalaupun ini sulit, kupikir tak sesulit yang dikatakan orang-orang yang kukira hiperbolis itu. Atau setidaknya, kupikir aku masih bisa melaluinya dengan niat yang tak akan goyah se-milimeter-pun. Meski harus dengan langkah terseret-seret nyaris tak bergerak. Kupikir aku bisa. Kupikir, kupikir, kupikir... aku kehabisan kata-kata. Ya, kupikir sekarang aku kehabisan kata-kata.
Tapi nyatanya, aku salah. Jalan ini sungguh berat, kawan. Sungguh, aku tak sedang berhiperbola, bahkan aku memang bukan seorang hiperbolis. Maka percayalah. Jalan ini penuh duri, penuh akan hal yang kau tak sukai, membuatmu merasa terasing, bahkan jalan ini akan memintai segala yang engkau punya, dan yang terburuk, membuat kau senantiasa di bayang-bayangi hasrat untuk mundur saja, berhenti, dan bercukup akan mengurusi dirimu sendiri.
Tapi –lagi, ketahuilah sahabat. Sekali kau sukses melaksanakannya, kau akan memperoleh secercah kebahagiaan yang menurutku tak akan habis meski kau tebarkan ke jutaan orang di dunia. Hatimu dipenuhi kehangatan seakan tengah dibalut belaian ibu. Jiwamu diselimuti rasa damai yang seolah kedamaian macam itu hanya bisa kau dapat di tempat antah berantah dalam imajinasimu. Aku serius. Dan tentu saja aku bukanlah seorang pembual ulung.
Lalu setelah serangkaian kebahagiaan itu sempurna menelusup dalam dirimu, kau akan bertanya darimana ini semua berasal. Seberapa berarti yang telah kau lakukan hingga segini hebat balasannya. Seakan kau mendadak amnesia akan betapa perihnya perjuangan yang kau sudah lancarkan. Lalu kau menyadari betapa kau sudah terikat dengan jalan ini, membuat kau tanpa sadar berjanji tak mau lepas dari jalan ini untuk selamanya.
Lalu –lagi, kau kembali mendapat tugas. Kali ini lebih berat dari yang kemarin lalu sukses kau eksekusi. Dan kau menyadari, seluruh yang ada di benakmu adalah apa yang telah kutuangkan dalam paragraf pertama kisah ini, namun belum tentu berakhir sesuai pada apa yang tertera di paragraf ini. Boleh jadi kau gagal, atau mudur. Tapi aku yakin, pasti temanmu cukup hebat untuk mampu menahanmu agar kau tak sampai roboh, barangkali kau butuh rehat sejenak. Barangkali kau butuh me-recharge semangatmu. Dan kau kembali menjadi pion utama paling prima di jalan ini. Tapi, semua pilihan tetaplah ditanganmu, teman. Maka berbijak-bijaklah memilih langkah.
Dan sekali lagi kutegaskan padamu, aku bukanlah seorang hiperbolis, apalagi seorang pembual ulung. Aku hanya membagikan apa-apa yang aku rasakan. Itu saja.
Bila kau bertanya jalan apakah yang telah kudeskripsi hampir sepanjang satu halaman ini, maka aku akan menjawab dengan sepenuh hati; ini adalah jalan dakwah.
Ya, jalan dakwah sobat.
Jalan inilah yang diperjuangkan Rasul kita tercinta mati-matian hingga titik darah penghabisan. Dan aku, disini, berjanji; Akan mengarungi jalan ini dengan sepenuh hati, seterjal apapun karang yang menghadang. Menyambung rute yang tak boleh putus ini hingga ajal mengizinkanku untuk berhenti. Maka,
Bismillah.

Satelit Buatan Manusia

Halo, senja! Bolehkah aku berbagi cerita?

Tenang saja, senja. Kali ini aku tidak akan memintamu menanyakan kabar Bumi pada semesta, kok.
Sebab sekarang aku sudah tahu kondisinya.

Kau penasaran apa yang terjadi? Nah, biar kuceritakan.

Kami tidak bertemu, senja. Tentu saja kami tidak bertemu, kalender astronomi yang dibuat manusia-manusia jenius itu kan selalu benar.
Hanya saja, teknologi manusia-manusia jenius itu juga semakin mencanggih.

Kau tahu, sekarang satelit buatan mereka sudah mampu mencipta koneksi antar-planet.
Maka, ya. Satelit-satelit itulah yang memegang andil besar atas menjadi-tahu-nya aku akan kabar si Bumi.
Tidak, aku tidak akan mengaitkan koneksiku dengan Bumi ini terhadap Bulan, Phobos, maupun Demios. Tentu saja.

Hanya saja... entahlah. Rasanya seolah-olah jutaan meteor menghujani permukaanku. Begitu mengejutkan.
Membuatku megap, tak kuat menerima debaran yang menghantam terus-terusan.
Tapi sudah. Begitu saja. Hanya terkejut yang aku rasa. Hanya debaran yang aku derita. Sisanya, biasa saja.

Aku tidak berharap, senja. Sungguh, aku senantiasa berusaha untuk tidak berharap yang tidak-tidak.
Tapi aku bisa apa, senja? Aku ini hanya Mars. Hanya batu yang terindikasi di permukaanku.

Kau tahu kan, issue kiamat yang disebabkan oleh hujan meteor itu? Nah, itulah yang kukhawatirkan.
Aku berusaha menawan harapku agar tak sampai menguar liar. Tapi bagaimana dengan meteor yang membadai menerpa permukaanku? Kuatkah aku menahannya, senja?

Aku tidak mau jadi seperti Bulan, yang permukaannya berlubang karena meteor menyerang.
Aku tidak ingin segala koneksiku dengan Bumi menorehkan bekas yang tak mungkin terobati bahkan oleh sang penyembuh paling mumpuni : waktu.

Aku ingin melupakannya, senja.
Tapi aku bisa apa? Menghantam satelit-satelit buatan manusia itu agar tak lagi mengkoneksikan kami? Atau cukup dengan menolak segala usaha Bumi dan para satelit itu mengontaki? Atau cukup dengan mengikis meteor-meteor itu di atmosfer, agar tak sampai menghujami kerakku?

Ah... apapun itu, akupun ingin sekali melakonkan skenario itu, senja.
Tapi aku tak kuasa. Belum merasa bisa.

Entahlah, debaran yang dicipta hujan meteor itu masih terasa begitu mengasyikkan bagiku
Jadi aku harus apa, senja? Haruskah aku melawan gejolak untuk merasakan debaran itu?

Ah, kurasa harus, ya?

Kalau begitu, senja, maukah kau membantuku? Membantu membinasakan gejolak itu?
Tolonglah, senja. Bantu aku. Kuatkan aku. Teguhkan tekadku.
Jadilah perpanjangan tangan Sang Empunya Semesta untuk menjelma sebagai penolongku.

Ya?



11/03/’17
Dieny A.