Selamat siang, antariksa. Dengan Bumi sebagai tokoh utama.
Dengar, aku tak ingin
berbasa-basi lebih lama. Sebab seluruh yang ingin kuucapkan hanyalah salam
perpisahan.
Ya, aku ingin mengakhiri semua
imaji indah ini.
Bukan, bukan karena jengah,
lelah, bosan atau semacamnya semata.
Aku hanya, merasa cukup. Sebab kupikir
sudah sepantasnya kisah tentang semesta ini berakhir seiring dengan berakhirnya
lembar-lembar kisahku di putih abu-abu.
Kupikir sudah sepantasnya aku
memulai lembaran baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang tanpa bisa kucegah,
begitu memengaruhiku.
Bisakah kalian pahami keputusanku
ini, antariksa?
Tentu saja bisa, bukan? Sebab,
apalah aku ini. Hanya serpihan debu yang bahkan belum menjadi nebula.
Jadi, apalah beratnya bagi kalian
melihat terlepasnya seluruh analogi tentang angkasa ini dari imaji.
Meski tadinya sempat aku
terpikir; Selama semesta masih ada, kisah ini tentu tak akan kehabisan cerita,
Tapi nyatanya, kini aku paham.
Bahwa memang ada satu dua hal yang mesti kita akhiri sendiri, karena keputusan
kita pribadi. Bukan karena ia memang sudah tak berkelanjutan lagi.
Contohnya hal ini.
Bumi masih ada. Mars masih ada.
Bulan masih ada. Phobos masih ada. Deimos masih ada. Bintang masih ada. Orion
masih ada. Jupiter masih ada. Nebula masih bekerja. Bahkan satelit
planet-planet lain di tata surya masih sempurna. Jadi kisah mereka tentulah
belum binasa.
Tapi di sini, hanya aku. Hanya
aku yang memutuskan bahwa semua cukup sampai di sini saja.
Biarkan aku
meninggalkan antariksa beserta instrumennya itu berkisah sesuka mereka. Biarkan
aku berhenti mengusik aktivitas mereka. Kuputuskan selesai menceritakan ulang
kisah mereka. Dengan keberadaanku ditengah-tengahnya.
Selesai. Semua selesai disini.
Seiring dengan aku yang tak menyandang gelar ‘siswa’ lagi. Sebab setelah ini,
aku akan menjadi maha –
Dan terkhusus untuk kau, Bumi :
Kuputuskan selesai untuk
mengontakmu baik secara sengaja, tak sengaja, terang-terangan, ataupun
diam-diam.
Kuputuskan cukup untuk mengaku-aku seolah aku memang sepatutnya bersanding denganmu.
Kuputuskan berhenti menjadi Mars.
Kuputuskan cukup untuk mengaku-aku seolah aku memang sepatutnya bersanding denganmu.
Kuputuskan berhenti menjadi Mars.
Menjadi Mars-mu.
Kuucapkan Terima kasih.
Terima kasih atas cerita-cerita
tengah malam yang tak segan tiap malam kita lakonkan.
Terima kasih atas semangat yang kau kobarkan sepanjang aku kesulitan.
Terima kasih atas nasihat yang kau lantunkan tiap kali kubuat kesalahan.
Terima kasih atas ilmu yang tak segan kaubagikan disaat aku sendiri tak sadar aku memang butuh kau ajarkan.
Terima kasih atas perhatian yang dapat kurasakan sekalipun kau merasa tak pernah mencurahkan.
Terima kasih untuk tak menolak mentah-mentah rasa yang serta-merta kuutarakan.
Terima kasih atas segala kenangan yang sempat kau ukirkan dua setengah tahun belakangan.
Terima kasih atas semangat yang kau kobarkan sepanjang aku kesulitan.
Terima kasih atas nasihat yang kau lantunkan tiap kali kubuat kesalahan.
Terima kasih atas ilmu yang tak segan kaubagikan disaat aku sendiri tak sadar aku memang butuh kau ajarkan.
Terima kasih atas perhatian yang dapat kurasakan sekalipun kau merasa tak pernah mencurahkan.
Terima kasih untuk tak menolak mentah-mentah rasa yang serta-merta kuutarakan.
Terima kasih atas segala kenangan yang sempat kau ukirkan dua setengah tahun belakangan.
Terima kasih, sungguh terima
kasih.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari deskripsi manusawi, tapi tetap; terima kasih.
Kuucapkan maaf.
Maaf untuk segala rasa yang begitu
berlebihan sampai membuatmu jengah hingga tak tahan.
Maaf untuk segala kerepotan yang kau tanggungkan akibat aku yang cari perhatian.
Maaf untuk segala ‘kode’ yang sampai maupun tak tersampaikan.
Maaf untuk segala ukiran janji yang tak kuasa untuk kutepati. Sungguh, aku punya alasan untuk itu.
Maaf untuk memori tentang kau, aku, dan kita yang barangkali kelak tak ingin kuingat-ingat lagi.
Maaf untuk segala rindu yang tercurah tidak melalui tempat yang semestinya.
Maaf untuk tidak mencintaimu karena Dia.
Maaf untuk segala kerepotan yang kau tanggungkan akibat aku yang cari perhatian.
Maaf untuk segala ‘kode’ yang sampai maupun tak tersampaikan.
Maaf untuk segala ukiran janji yang tak kuasa untuk kutepati. Sungguh, aku punya alasan untuk itu.
Maaf untuk memori tentang kau, aku, dan kita yang barangkali kelak tak ingin kuingat-ingat lagi.
Maaf untuk segala rindu yang tercurah tidak melalui tempat yang semestinya.
Maaf untuk tidak mencintaimu karena Dia.
Maaf, sungguh maaf.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari berkesan untuk kita kenang, tapi tetap; maaf.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari berkesan untuk kita kenang, tapi tetap; maaf.
Terima kasih.
Maaf.
Dan akhirnya... selamat tinggal.
Maaf.
Dan akhirnya... selamat tinggal.
Aku melepasmu.
“As time goes on you’ll
understand. What lasts, last; what doesn’t, does not. Time solves most things.
And what time can’t solve, you have to solve it yourself.”
–Haruki Murakami–
23/05/’17
Dieny A.