Rabu, 25 Oktober 2017

Akhir yang Terakhir

Selamat siang, antariksa. Dengan Bumi sebagai tokoh utama.

Dengar, aku tak ingin berbasa-basi lebih lama. Sebab seluruh yang ingin kuucapkan hanyalah salam perpisahan.

Ya, aku ingin mengakhiri semua imaji indah ini.

Bukan, bukan karena jengah, lelah, bosan atau semacamnya semata.

Aku hanya, merasa cukup. Sebab kupikir sudah sepantasnya kisah tentang semesta ini berakhir seiring dengan berakhirnya lembar-lembar kisahku di putih abu-abu.

Kupikir sudah sepantasnya aku memulai lembaran baru, tanpa bayang-bayang masa lalu yang tanpa bisa kucegah, begitu memengaruhiku.

Bisakah kalian pahami keputusanku ini, antariksa?

Tentu saja bisa, bukan? Sebab, apalah aku ini. Hanya serpihan debu yang bahkan belum menjadi nebula.

Jadi, apalah beratnya bagi kalian melihat terlepasnya seluruh analogi tentang angkasa ini dari imaji.
Meski tadinya sempat aku terpikir; Selama semesta masih ada, kisah ini tentu tak akan kehabisan cerita,

Tapi nyatanya, kini aku paham. Bahwa memang ada satu dua hal yang mesti kita akhiri sendiri, karena keputusan kita pribadi. Bukan karena ia memang sudah tak berkelanjutan lagi.

Contohnya hal ini.

Bumi masih ada. Mars masih ada. Bulan masih ada. Phobos masih ada. Deimos masih ada. Bintang masih ada. Orion masih ada. Jupiter masih ada. Nebula masih bekerja. Bahkan satelit planet-planet lain di tata surya masih sempurna. Jadi kisah mereka tentulah belum binasa.

Tapi di sini, hanya aku. Hanya aku yang memutuskan bahwa semua cukup sampai di sini saja. 

Biarkan aku meninggalkan antariksa beserta instrumennya itu berkisah sesuka mereka. Biarkan aku berhenti mengusik aktivitas mereka. Kuputuskan selesai menceritakan ulang kisah mereka. Dengan keberadaanku ditengah-tengahnya.

Selesai. Semua selesai disini. Seiring dengan aku yang tak menyandang gelar ‘siswa’ lagi. Sebab setelah ini, aku akan menjadi maha –

Dan terkhusus untuk kau, Bumi :

Kuputuskan selesai untuk mengontakmu baik secara sengaja, tak sengaja, terang-terangan, ataupun diam-diam.
Kuputuskan cukup untuk mengaku-aku seolah aku memang sepatutnya bersanding denganmu.
Kuputuskan berhenti menjadi Mars.

Menjadi Mars-mu.

Kuucapkan Terima kasih.

Terima kasih atas cerita-cerita tengah malam yang tak segan tiap malam kita lakonkan.
Terima kasih atas semangat yang kau kobarkan sepanjang aku kesulitan.
Terima kasih atas nasihat yang kau lantunkan tiap kali kubuat kesalahan.
Terima kasih atas ilmu yang tak segan kaubagikan disaat aku sendiri tak sadar aku memang butuh kau ajarkan.
Terima kasih atas perhatian yang dapat kurasakan sekalipun kau merasa tak pernah mencurahkan.
Terima kasih untuk tak menolak mentah-mentah rasa yang serta-merta kuutarakan.
Terima kasih atas segala kenangan yang sempat kau ukirkan dua setengah tahun belakangan.

Terima kasih, sungguh terima kasih.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari deskripsi manusawi, tapi tetap; terima kasih.

Kuucapkan maaf.

Maaf untuk segala rasa yang begitu berlebihan sampai membuatmu jengah hingga tak tahan.
Maaf untuk segala kerepotan yang kau tanggungkan akibat aku yang cari perhatian.
Maaf untuk segala ‘kode’ yang sampai maupun tak tersampaikan.
Maaf untuk segala ukiran janji yang tak kuasa untuk kutepati. Sungguh, aku punya alasan untuk itu.
Maaf untuk memori tentang kau, aku, dan kita yang barangkali kelak tak ingin kuingat-ingat lagi.
Maaf untuk segala rindu yang tercurah tidak melalui tempat yang semestinya.
Maaf untuk tidak mencintaimu karena Dia.

Maaf, sungguh maaf.
Meskipun akhir ini sangat jauh dari berkesan untuk kita kenang, tapi tetap; maaf.

Terima kasih.
Maaf.
Dan akhirnya... selamat tinggal.

Aku melepasmu.


“As time goes on you’ll understand. What lasts, last; what doesn’t, does not. Time solves most things. And what time can’t solve, you have to solve it yourself.”
–Haruki Murakami–


23/05/’17
Dieny A.

Jumat, 09 Juni 2017

Etika Berdakwah - Bertahan dan Pergi

Ketika niat bertahan hanya karena merasa banyak orang yang membutuhkan, maka kelak kita akan memilih pergi karena merasa tak ada orang yang membutuhkan.
Lantas perjalanan kita akan berujung seperti kisah Nabi Yunus a.s. Beliau pergi, karena merasa tak dibutuhkan. Merasa dakwahnya sia-sia.

Maka teladanilah kisah Nabi Musa a.s. Yang sekalipun menjadi buron Raja Fir'aun, dia tetap kembali ke hadapan kaumnya untuk mendakwahi.
Bukan karena merasa dibutuhkan, tetapi karena beliau alaihissalam merasa butuh amanah dakwah tersebut, agar menjadi hamba yang taat.

Sebab nyatanya, memang bukan Allah-lah yang butuh kita. Tapi kita yang butuh Allah.
Seperti halnya bukan obyek dakwah kita yang butuh kita. Tetapi kita yang butuh mereka untuk menjadi saksi atas amal jariyah kita di akhirat.

Jadi, untukmu. Yang barangkali pernah saya dakwahi.
Maaf, jangan ge-er. Saya tidak akan bertahan karena merasa dibutuhkan.
Sebab, kalaupun saya menetap, itu karena Allah yang menghendakinya. Bukan karena manusia.

Dan untukmu, yang memiliki persoalan serupa dengan saya.
Jangan pernah lelah. Jangan pernah putus asa. Jangan menyerah mencari ridho Allah.
Sebab ini 'ladang'mu. 'Ladang' yang Allah sediakan untuk kau garap. Allah itu Maha Kuasa. Kalau Dia mau, bisa saja detik ini juga Dia datangkan sosok yang jauh lebih unggul dari dirimu untuk menuntaskan 'ladang' ini. Mengambil alih 'ladang' milikmu ini.

Namun kalau sudah begitu, nanti kamu dapat apa? 'Panen' dari 'ladang' tersebut tentulah dihakmiliki oleh sosok yang menaklukkannya. Bukan dirimu.

Maka sekali lagi, jangan pernah lelah, jangan pernah putus asa, jangan menyerah. Jangan biarkan satu detik yang kamu miliki di dunia ini terlewatkan dengan sia-sia.

Capek? Istirahatnya nanti, di surga saja.




Bekasi, 9/6/17
Terinspirasi dari: tulisan di instastory mbak Luluk Gusliansyah
Dieny A.

Kamis, 04 Mei 2017

Antara SNMPTN dan SBMPTN

Assalamu'alaikum, sobat kelas dua belas!
Tentu sudah menerima hasil SNMPTN, kan?

Nah, sesuai judul yang saya terakan di atas, saya ingin mengajak sobat sekalian untuk sharing seputar masuk PTN.

Pertama-tama, saya ucapkan selamat kepada teman-teman yang lolos. Selamat, kalian tidak perlu melanjutkan persaingan untuk masuk PTN yang kalian inginkan. Selamat, kalian hanya tinggal melakukan daftar ulang di PTN terkait untuk bisa dilabeli sebagai mahasiswa baru mereka. Dan selamat, untuk hasil luar biasa yang kalian raih sebagai balasan usaha kalian 'mengejar nilai' tiga tahun kebelakang.
Akan saya ingatkan pada kalian satu dan beberapa hal. Pertama, jangan sombong. Sekali lagi, jangan, sobat. Sombong itu mutlak dilarang, entah oleh agama maupun oleh tata krama. Sebab sejatinya, apa yang mau kalian sombongkan? Diterimanya kalian di PTN? Saya rasa itu bukan sepenuhnya usaha kalian. Sebab sampai saat ini, krieria penerimaan undangan ini hanya rektor dan Tuhan yang tahu. Kalian bisa apa? Boleh jadi, justru ada hati yang tersakiti akibat kesombongan kalian, lantas mendoakan hal-hal yang kurang berkenan untuk kalian. Nah loh, jangan sampai kejadian, ya!
Kedua, apakah nilai yang kalian peroleh itu halal? Maaf bila saya sedikit menggurui. Memang bukan hak saya menentukan sesuatu itu halal atau haram. Tapi disini, maksud saya lebih mengarah kepada : bagaimana cara kalian memperoleh nilai tersebut? Tidak bisa kita pungkiri, banyak guru di sekolah kita masing-masing yang tidak memberi nilai secara obyektif. Bahkan, ada sebagian dari kita yang memang sengaja untuk tidak meng-obyektif-kan diri, saya rasa. Yah, terlalu pribadi memang. Toh, disini maksud saya memang untuk introspeksi sama-sama.
Sobat, adakalanya nilai yang kita peroleh ini tidak sesuai dengan kemampuan kita yang sesungguhnya. Kasarnya, kita tidak bisa mempertanggungjawabkan nilai yang kita dapat ini. Nah, inilah yang saya maksudkan dengan nilai yang tidak halal. Atau lebih sopannya, tidak berkah barangkali.
Bagaimana hukumnya jikalau kita memulai hidup baru (re: kuliah) yang diawali dengan suatu ketidakberkahan? Well, saya bukan ulama yang bisa menetapkan halal dan haram, berkah dan tidak berkah. Maka saya tegaskan lagi, ini untuk introspeksi bersama saja.
Terakhir untuk sobat yang lolos SNMPTN, saya sematkan sebuah doa buat kalian. Semoga, apa-apa yang kalian peroleh ini senantiasa dinaungi oleh ridho Allah SWT, semakin mendekatkan hati dan jiwa raga kita kepada-Nya, serta sekaligus menjadi jihad fisabilillah bagi kita semua. Sebab percuma kita mendapatkan sesuatu namun kita kehilangan Allah. Na'udzubillahi mindzalik, semoga kita semua terhindar dari ha-hal merugikan yang demikian.

Selanjutnya, bagi para pejuang yang dipercaya Allah untuk meneruskan perjuangannya menuju dunia perkuliahan melalui SBMPTN, saya ucapkan selamat.
Loh, kok selamat juga? Iya, selamat untuk tidak menyerah. Selamat untuk tidak menyalahkan takdir yang telah ditetapkan Allah SWT. Dan selamat untuk kepercayaan yang telah Allah letakkan di pundakmu bahwa kalian pasti bisa.
Ingat, Allah menakdirkan karena Dia percaya kita bisa. Apapun itu, yang telah ditetapkan oleh Allah, artinya itu adalah kisah terbaik yang kelak akan kita ceritakan pada anak dan cucu saat bernostalgia. Allah penulis skenario terbaik, percayai itu!
Masalah kecewa, tentu tidak masalah. Sudah fitrahnya manusia merasa kecewa saat apa yang dia maui tidak terkabul. Tapi jangan berlebihan. Kalian tahu 'kan, kecewa datangnya darimana? Yup! Dari hati yang berharap kepada selain-Nya. Waduh, berarti saat kita kecewa, artinya kita sedang kecolongan. Makanya, cepat-cepatlah mengembalikan harap ini kepada pemilik yang sebenarnya. Yang tidak mungkin membuat kecewa.
Lagipula kalau dipikir lebih jauh, coba deh kita introspeksi diri. Memangnya sudah seberapa bagus kualitas dan kuantitas ibadah kita?
Atau, sudah berapa banyak kita lalai akan kewajiban-kewajiban kita sebagai hamba-Nya?
Sudah berapa kali kita buat Allah kecewa?
Terus, baru kali ini Allah tidak mengabulkan apa yang kita mau, kita langsung seenaknya kecewa.
Memangnya pantas?
Memangnya kita punya hak untuk kecewa?
Maka dari itu sobat, cobalah untuk bersyukur. bersyukur karena sekali lagi kita diberi momen untuk menyadarkan diri kita terhadap kesalahan dan kelalaian yang telah kita perbuat. Betapa angkuhnya kita tempo-tempo lalu.
Dan, buktikan. Bahwa kita siap untuk segera bangkit! Jangan lama-lama terpuruk dalam pojok kenestapaan. Begitu menemukan hikmahnya, ayo cepat-cepat bangkit! Jangan tertinggal untuk membabat habis SBMPTN.
Kalian bisa, yakinlah bahwa Allah tidak akan menepatkan kita pada posisi yang tidak bisa kita tangani.
Pesan saya, dalam setiap tahapan perjuangan, jangan lupa untuk senantiasa melibatkan Allah. Berdoalah setiap saat. Agar dipilhkan-Nya seusatu yang Dia rasa terbaik buat kita, agar dilancarkan-Nya ujian yang akan kita hadapi, agar dimudahkan jalan kita untuk mendekatkan diri pada-Nya, dan segala 'agar' lainnya yang terbesit di hati kalian.
Semoga kita semua berhasil sesuai definisi berhasil kita masing-masing, seraya tetap berada dibawah naungan Allah SWT.

Barangkali, cukup sekian yang bisa saya ulas kali ini. Omong-omong, jika kalian bertanya-tanya dalam  hati, saya adalah termasuk golongan kedua yang saya bahas di atas, hehe. Maka dari itu, tulisan di atas hanyalah karya seorang amatir yang belum berhasil merengkuh PTN-nya. So, jangan terlalu diambil hati apabila ada salah-salah kata.

Lebih kurangnya saya mohon maaf, wassalamu'alaikum!
See ya soon.

Senin, 17 April 2017

Ciptaan Naif

Selamat siang, terik.  Bolehkah kuminta sedikit waktumu untuk bercerita tentang Bumi?
Boleh, ya?

Kau tentu sudah dengar bukan, bahwasanya beberapa waktu lalu aku sempat berc
erita pada senja tentang satelit buatan manusia yang menjadikan aku dan Bumi saling bertukar kabar?

Lantas, aku meminta senja untuk membantuku melawan koneksi itu lantaran takut hempasan meteor itu terlalu dalam hingga tak sanggup kuhilangkan.

Jadi begini, terik.Kami sudah berhenti berhubungan. Entahlah, aku juga tidak tahu apa yang terjadi pada Bumi maupun satelit itu sehingga tak sekalipun dia menghubungiku.

Bagus? Tentu saja.
Aku bersyukur sekali. Akhirnya kami bisa menjalani orbit masing-masing tanpa berusaha saling menindih.

Eh, saling? Haha...
Entahlah, ini hanya aku yang merasa atau bagaimana. Sebab dari kemarin, sepertinya memang Bumi lah yang senantisa mengontakiku.

Tapi, yah... salahku juga, sih. Membuat kabar ataupun pernyataan yang memancingnya untuk bertanya lebih jauh.

Jadi, terik. Apakah pantas bila kusebut ini saling?
Apa hanya dia? Atau hanya aku?

Sebenarnya, akupun bingung, terik. Aku senang kami tak berhubungan. Tapi tetap saja, kehilangan itu pasti ada.

Aku senang kami berhubungan, sampai membuat kabar agar dia hubungi malah. Tapi tetap saja, kekhawatiran bahkan ketakutan akan dosa itu selalu menghantui.

Maka menurutmu, terik. Manakah yang harus kuutamakan?

Ah, tentu saja. Jawabannya adalah Dia.

Aku harus mengutamakan Dia bukan?

Sebab bahkan aku tak tahu marabahaya apa yang barangkali bisa menimpaku seiring dengan kesenanganku berhubungan dengannya.
Ya, begitulah. Terkadang ciptaan-ciptaan-Nya ini terlalu naif dalam menghadapi suatu hal yang 
bertipe duniawi.

Eh, atau hanya aku?
Mungkin. Mungkin saja memang hanya aku ciptaannya yang luar biasa naif dalam menanggapi segala cobaan hidup.

Haha, naif.
Tidak, terik. Aku tidak mau jadi naif. Aku harus berjuang menegakkan apa-apa yang kuanggap benar.
Sebab yang benar, belum tentu menyenangkan, bukan? Ya, menegakkan kebenaran itu perihal susah.

Ya. Aku bisa.
Aku. Pasti. Bisa.
‘Kan, terik?


15/04/’17
Dieny A.

Senin, 13 Maret 2017

Perihal Biasa dan Tak Biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Adalah perihal yang biasa mereka lihat angin mencipta riak
Belanja di mall,baru luar biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Bukan perihal istimewa ketika mereka lihat senja ditelan ombak
Naik wahana di taman wista, baru istimewa

Sebab hari-hari, merekalah saksi atas atraksi yang angin dan ombak lakoni

Anak-anak laut lain dengan anak-anak kota
Bapak-bapak nelayan berbeda dengan bapak-bapak karyawan
Ibu-ibu petani garam pun tak sama dengan ibu-ibu arisan

Sebab beda lokasi, beda pula yang diamati
Semua ini hanya perihal biasa dan tak biasa

Sederhana dan istimewa, itu ilusi
Semua ini hanya perihal biasa da tak biasa

Yang terus saja berotasi
Hingga bosan, lantas mati


26-12-'14
Inspirasi : berkas senja di Selat Sunda

Tentang Sebuah Jalan

Kupikir semua ini mudah. Meskipun pasti tak semudah membalikkan telapak tangan. Atau kalaupun ini sulit, kupikir tak sesulit yang dikatakan orang-orang yang kukira hiperbolis itu. Atau setidaknya, kupikir aku masih bisa melaluinya dengan niat yang tak akan goyah se-milimeter-pun. Meski harus dengan langkah terseret-seret nyaris tak bergerak. Kupikir aku bisa. Kupikir, kupikir, kupikir... aku kehabisan kata-kata. Ya, kupikir sekarang aku kehabisan kata-kata.
Tapi nyatanya, aku salah. Jalan ini sungguh berat, kawan. Sungguh, aku tak sedang berhiperbola, bahkan aku memang bukan seorang hiperbolis. Maka percayalah. Jalan ini penuh duri, penuh akan hal yang kau tak sukai, membuatmu merasa terasing, bahkan jalan ini akan memintai segala yang engkau punya, dan yang terburuk, membuat kau senantiasa di bayang-bayangi hasrat untuk mundur saja, berhenti, dan bercukup akan mengurusi dirimu sendiri.
Tapi –lagi, ketahuilah sahabat. Sekali kau sukses melaksanakannya, kau akan memperoleh secercah kebahagiaan yang menurutku tak akan habis meski kau tebarkan ke jutaan orang di dunia. Hatimu dipenuhi kehangatan seakan tengah dibalut belaian ibu. Jiwamu diselimuti rasa damai yang seolah kedamaian macam itu hanya bisa kau dapat di tempat antah berantah dalam imajinasimu. Aku serius. Dan tentu saja aku bukanlah seorang pembual ulung.
Lalu setelah serangkaian kebahagiaan itu sempurna menelusup dalam dirimu, kau akan bertanya darimana ini semua berasal. Seberapa berarti yang telah kau lakukan hingga segini hebat balasannya. Seakan kau mendadak amnesia akan betapa perihnya perjuangan yang kau sudah lancarkan. Lalu kau menyadari betapa kau sudah terikat dengan jalan ini, membuat kau tanpa sadar berjanji tak mau lepas dari jalan ini untuk selamanya.
Lalu –lagi, kau kembali mendapat tugas. Kali ini lebih berat dari yang kemarin lalu sukses kau eksekusi. Dan kau menyadari, seluruh yang ada di benakmu adalah apa yang telah kutuangkan dalam paragraf pertama kisah ini, namun belum tentu berakhir sesuai pada apa yang tertera di paragraf ini. Boleh jadi kau gagal, atau mudur. Tapi aku yakin, pasti temanmu cukup hebat untuk mampu menahanmu agar kau tak sampai roboh, barangkali kau butuh rehat sejenak. Barangkali kau butuh me-recharge semangatmu. Dan kau kembali menjadi pion utama paling prima di jalan ini. Tapi, semua pilihan tetaplah ditanganmu, teman. Maka berbijak-bijaklah memilih langkah.
Dan sekali lagi kutegaskan padamu, aku bukanlah seorang hiperbolis, apalagi seorang pembual ulung. Aku hanya membagikan apa-apa yang aku rasakan. Itu saja.
Bila kau bertanya jalan apakah yang telah kudeskripsi hampir sepanjang satu halaman ini, maka aku akan menjawab dengan sepenuh hati; ini adalah jalan dakwah.
Ya, jalan dakwah sobat.
Jalan inilah yang diperjuangkan Rasul kita tercinta mati-matian hingga titik darah penghabisan. Dan aku, disini, berjanji; Akan mengarungi jalan ini dengan sepenuh hati, seterjal apapun karang yang menghadang. Menyambung rute yang tak boleh putus ini hingga ajal mengizinkanku untuk berhenti. Maka,
Bismillah.

Satelit Buatan Manusia

Halo, senja! Bolehkah aku berbagi cerita?

Tenang saja, senja. Kali ini aku tidak akan memintamu menanyakan kabar Bumi pada semesta, kok.
Sebab sekarang aku sudah tahu kondisinya.

Kau penasaran apa yang terjadi? Nah, biar kuceritakan.

Kami tidak bertemu, senja. Tentu saja kami tidak bertemu, kalender astronomi yang dibuat manusia-manusia jenius itu kan selalu benar.
Hanya saja, teknologi manusia-manusia jenius itu juga semakin mencanggih.

Kau tahu, sekarang satelit buatan mereka sudah mampu mencipta koneksi antar-planet.
Maka, ya. Satelit-satelit itulah yang memegang andil besar atas menjadi-tahu-nya aku akan kabar si Bumi.
Tidak, aku tidak akan mengaitkan koneksiku dengan Bumi ini terhadap Bulan, Phobos, maupun Demios. Tentu saja.

Hanya saja... entahlah. Rasanya seolah-olah jutaan meteor menghujani permukaanku. Begitu mengejutkan.
Membuatku megap, tak kuat menerima debaran yang menghantam terus-terusan.
Tapi sudah. Begitu saja. Hanya terkejut yang aku rasa. Hanya debaran yang aku derita. Sisanya, biasa saja.

Aku tidak berharap, senja. Sungguh, aku senantiasa berusaha untuk tidak berharap yang tidak-tidak.
Tapi aku bisa apa, senja? Aku ini hanya Mars. Hanya batu yang terindikasi di permukaanku.

Kau tahu kan, issue kiamat yang disebabkan oleh hujan meteor itu? Nah, itulah yang kukhawatirkan.
Aku berusaha menawan harapku agar tak sampai menguar liar. Tapi bagaimana dengan meteor yang membadai menerpa permukaanku? Kuatkah aku menahannya, senja?

Aku tidak mau jadi seperti Bulan, yang permukaannya berlubang karena meteor menyerang.
Aku tidak ingin segala koneksiku dengan Bumi menorehkan bekas yang tak mungkin terobati bahkan oleh sang penyembuh paling mumpuni : waktu.

Aku ingin melupakannya, senja.
Tapi aku bisa apa? Menghantam satelit-satelit buatan manusia itu agar tak lagi mengkoneksikan kami? Atau cukup dengan menolak segala usaha Bumi dan para satelit itu mengontaki? Atau cukup dengan mengikis meteor-meteor itu di atmosfer, agar tak sampai menghujami kerakku?

Ah... apapun itu, akupun ingin sekali melakonkan skenario itu, senja.
Tapi aku tak kuasa. Belum merasa bisa.

Entahlah, debaran yang dicipta hujan meteor itu masih terasa begitu mengasyikkan bagiku
Jadi aku harus apa, senja? Haruskah aku melawan gejolak untuk merasakan debaran itu?

Ah, kurasa harus, ya?

Kalau begitu, senja, maukah kau membantuku? Membantu membinasakan gejolak itu?
Tolonglah, senja. Bantu aku. Kuatkan aku. Teguhkan tekadku.
Jadilah perpanjangan tangan Sang Empunya Semesta untuk menjelma sebagai penolongku.

Ya?



11/03/’17
Dieny A.

Jumat, 10 Maret 2017

Sepucuk Surat Dari Masa Depan


Kepada : Nebula


Hei, Nebula! Apa kau mengenalku? Tentu saja tidak. Tidak mungkin kau mengenali aku. Tapi aku, aku mengenalmu, Nebula. Hei-hei, Jangan bingung! Kukatakan aku mengenalmu, tentu bukan berarti aku juga dikenali olehmu, bukan? Jika yang terjadi adalah demikian, maka aku tidak akan mengatakan aku mengenalmu. Melainkan, kita saling mengenal.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat. Jadi kikuk begini. Tentu saja aku tidak perlu repot-repot menjelaskan definisi suatu kata secara mendetail, panjang, dan lebar kepadamu, bukan? Dalam hal ini, kau jelas lebih ahli daripada aku. Terang saja, bukumu berjajar rapi diatas rak bertuliskan ‘Terlaris’ di toko buku di seluruh penjuru Nusantara, artikelmu bertebaran menghiasi sampul-sampul depan media cetak ternama. Dan opinimu, senantiasa menjadi trending topic di dunia maya. Sedangkan aku? Ah, aku hanyalah seseorang yang mengaku dirinya mengenalmu, Nebula.
Namun, jika kau berpikir sudah sewajarnya  aku mengenalmu sebab kau adalah wartawan merangkap editor, penulis yang sesekali menjadi cover designer, sekaligus menjadi pemilik penerbitan yang menerbitkan karya-karyamu, kau salah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Hanya lewat tulisan-tulisanmu. Tapi bukan hanya dari tulisan-tulisanmu yang kini telah bernaung dalam hunian kata paling istimewa –buku, atau dari artikel-artikel gubahanmu yang tumpah-ruah di segala media massa. Bukan, Nebula. Bukan hanya dari situ.
Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di timeline sosial mediamu. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di group-chat yang sama-sama kita ikuti. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di personal-chat kita sendiri. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau kirim diam-diam, khusus untukku. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau ikutkan dalam lomba kepenulisan, dan menjadi pemenang.
Biar kuulang sekali lagi, Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu ketika kau bahkan masih menjadi hamparan debu di semesta. Tentu, tidak ada apa-apanya dengan nebula. Lantas sekarang, kau berkembang sedemikian pesat dan hebat. Dari debu semesta menjadi nebula.
Nah, dalam hal ini, aku jelas lebih banyak tahu dari dirimu. Jadi, biar kuterangkan padamu bagaimana prosesi detail transisimu dari debu semesta menjadi nebula. Namun sebelumnya, bisakah aku berasumsi  bahwa kau sudah tahu nebula adalah kerumunan kabut penghasil bintang di semesta karena kau memilih nama instrumen semesta itu jadi nama penamu? Ah, kurasa bisa, ya?
Baik, aku akan menjelaskan bagaimana nebula terbentuk. Nebula terbentuk dari hamparan debu di semesta yang senantiasa bergerak secara masiv. Yang menyebabkan debu-debu ini lantas membaur dengan gas yang juga ada di angkasa, menjadikan energi yang dihasilkan kolaborasi ini berkali-kali lipat lebih besar daripada saat mereka sendiri-sendiri –seperti konsep sinergi. Ya, debu dan gas semesta ini bersinergi, bersatu hingga terciptalah kabut dengan energi tak terhingga yang secara berkesinambungan memuntahkan pendaran-pendaran cahaya baru yang biasa kita sebut bintang : nebula. Namun prosesi pemersatuan ini, bukanlah mudah adanya, Nebula. Debu-debu semesta membutuhkan seluruh energinya untuk menyatukan diri dengan gas dari angkasa. Kesalahan sedikit saja, atau bahkan ke-tidak-maksimal-an nol koma sekian persen saja, bisa menjadikan mereka gagal bersatu. Lantas keduanya meledak, berhamburan kemana-mana. Pertaruhan yang luar biasa sekali, bukan?
Sampai disini, kau bukan hanya sudah paham, bukan, Nebula? Melainkan juga sudah menerka filosofi apa yang akan kujabarkan dalam beberapa paragraf kedepan. Ya, Nebula. Aku tau itu. Kan sudah kukatakan, aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang senantiasa beberapa langkah lebih maju dengan lawanmu –dalam hal ini aku. Aku bahkan yakin sekali, kau sudah bisa menebak siapa aku semenjak paragraf keempat tulisan ini. Namun kau memutuskan terus membaca, padahal jadwalmu begitu padat. Kenapa? Ah, kau pasti lebih dari sekedar penasaran, bukan? Ada sesuatu, Nebula. Aku tahu itu. Aku mengenalmu.
Maka filosofi yang sudah kau analisa itupun, benar adanya, Nebula. Aku memang akan menganalogikan proses pembentukan nebula itu sebagai proses melejitnya karir menulismu. Dulu kau memang hanya debu semesta. Namun dengan segenap usaha, kau pertemukan dirimu dengan gas angkasa. Lantas bertaruh hidup-mati dengannya untuk melontarkan mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Tidak mudah, memang. Namun kau berhasil, Nebula! Kini, kau jadi nebula. Produsen bintang-bintang yang senantiasa menerangi angkasa. Dan kau, sudah sepatutnya berbangga akan hal itu.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat untuk kedua kali. Masalah berbangga diri, kita berdua sama hebatnya, bukan? Aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang dengan senang hati memotivasi orang-orang di sekitarmu dengan kisah keberhasilanmu. Bukan sombong. Kau hanya malas mencari contoh jauh-jauh –katamu.
Kau sudah sangat banyak berubah, Nebula. Dari yang hanya debu di semesta, kini jadi nebula. Hei, tidakkah kau bertanya-tanya mengapa aku masih bisa mengenalimu dari tulisan-tulisanmu padahal kau sudah berubah sedemikian banyak? Ata kau malah sudah tahu penyebabnya? Ah, kurasa tidak. Kau tidak tahu sebabnya. Sudah kukatakan, kan. Aku mengenalmu, sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu.
Baiklah, akan kupaparkan padamu sebab aku masih mengenalimu dari tulisan-tulisanmu dulu hingga sekarang sekalipun kau telah berubah begitu besar. Barangkali, sebab ini pula sekaligus alasan kenapa aku mengirimkan surat ini buatmu. Atau bahkan, ini juga sebab yang sama untuk alasan kenapa kau masih melanjutkan membaca setelah tahu siapa aku ini.
Kuberitahu kau, Nebula. Tulisanmu, sedari dahulu, sejatinya tak pernah berubah. Atau bahkan, selalu sama. Hey, kau boleh protes bahwa tulisanmu yang sekaraang tentulah berbeda kualitasnya dengan yang dulu. Beda kelas, beda topik , dan lain-lain. Kau boleh protes. Tapi nanti, dengarkan dulu pemaparanku hingga selesai.
Tulisan-tulisanmu, Nebula. Sedari dulu. Entah di timeline media sosial, group-chat yang kita ikuti, personal-chat kita pribadi, surat-surat rahasia yang kau kirimi, bahkan untuk lomba yang kau menangi. Hingga saat ini. Di buku-buku best seller-mu, di artikel yang menjadi headline di media massa, bahkan cuitanmu yang senantiasa jadi trending topic sosial media. Selalu kutemukan suatu unsur yang sama. Amat kentara. Bukan, bukan gaya bahasa tentu saja. Ini unsur yang berbeda. Tak akan disadari siapa-siapa kecuali dia mengetahui kisah ini : kisah lama yang kita usaikan sendiri-sendiri, tapi nyatanya masih bercokol dalam hati.
Kau tahu, Nebula. Aku menemukan diriku disetiap tulisanmu. Sedari dulu. Hingga saat ini. Entah itu jadi tokoh utama, atau hanya sekedar perumpama. Selalu ada aku di tiap tulisanmu ‘kan, Nebula? Tidak ada lagi pura-pura. Kenyataannya, kau belum berhasil memaksaku keluar dari istana megah tempat ide-idemu bersemayam. Aku masih jadi amunisi paling mutakhir milikmu untuk menempatkan seluruh karyamu di jajaran teratas segala media.
Ya, Nebula. Akhirnya, kuperkenalkan diriku : Orion.
Sisanya, silahkan kau simpulkan sendiri, ya. Kau tentunya jauh lebih ahli ketimbang aku.
Sampai jumpa!

Dari : Orion


Perkataan Bintang

Assalamualaikum, fajar. Boleh aku meminta waktumu sejenak untukku bercerita?

Begini. Aku sedang sebal dengan seorang Bintang.
Alasannya? Sangat sederhana. Sebab ia dengan berani-beraninya menyampaikan kabar akan kedatangan Bumi ke sisi-sisi langitku.
Membuat aku yang tengah kewalahan menyambut kedatangan salju di kerakku, menyempat-nyempatkan waktu untuk menengoknya. Dan mempersiapkan diri pula untuk ditengoknya.

Kau tahu, aku bahkan membuat sebuah puisi. Puisi. Buatnya.
Judulnya ‘Pertemuan’.

Haha. Nista, ya? Menyadari betapa aku mendamba suatu pertemuan, yang bahkan informasi mengenainya masih bisa dikategorikan hoax. Tidak pasti. Tidak jelas. Namun masih sanggup membuatku begitu berharap.

Harap ini, aku tak tahu sebabnya. Bahkan aku sendiri tak tahu darimana asalnya, dan bagaimana datangnya.
Yang aku tahu. Aku sudah bertekad melupakan dia. Dan kurasa, sudah berhasil pula melupakan dia. 
Tapi kenapa, masih berharap? Masih mendamba jumpa? Sampai-sampai membuat puisi segala.

Dan tentu saja. Cerita ini klise. Klasik. Retoris. Tertebak akhirnya.
Bumi tidak datang. Atmosfer kami tak bersisian.
Maka kusimpulkan, Bintang itu berdusta.

Fajar, sebenarnya batas antara acuh dengan rindu itu apa? Kenapa makin kemari, makin tak jelas aku memaknainya? Kenapa batas itu semakin kabur?
Aku tidak mengerti, fajar. Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka? Kenapa jadi tak teranalisa?

Sebetulnya, sejak entah berapa purnama belakangan ini (lebih tepatnya sejak bagian keenam tulisan ini), aku memang yakin bahwa aku sudah tak punya rasa. Malah, aku sampai bisa menjadikannya bahan bercanda. Yah, meski kuakui, dia masih menjadi tokoh utama di hampir semua tulisanku.

Namun sudah dua minggu ini, entah mengapa topik-topik tentangnya menjadi sensitif lagi buat telingaku. Kabar-kabar mengenainya, mengundang dahaga buatku. Bahkan aku sampai ragu, sebenarnya Bintang itu yang mengabariku, atau aku yang menggali-gali kabar padanya.

Jadi, fajar. Kuulang lagi pertanyaanku.
Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?

Kata seorang Bintang yang lain, aku memang tak pernah berhenti merasa padanya. Bahkan, aku belum pernah berusaha untuk memberhentikannya.
Yang lantas membuat aku merenung sendiri.

Kuulang kembali tanya-tanyaku tadi
Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?


01/02/’17
Dieny A.

Bertanya Kabar

Selamat petang, senja.
Rasanya sudah lama ya, semenjak kali terakhir kita berbagi cerita.
Kau rindu aku, kan? Haha, aku juga, kok.

Maka dari itu, biarkan aku bercerita padamu, untuk kita melepas rindu. Oke?
Begini. Aku hanya sedang memikirkan, apa yang kiranya tengah terjadi di muka Bumi akhir-akhir ini.

Adakah para manusia itu mengungkap suatu temuan baru dari keraknya?
Apakah ia masih tetap mengorbit sesuai rutenya?
Atau malah jadi macam Pluto yang orbitnya kian memipih menindih Uranus?
Mungkinkah Bulan miliknya tengah melipir ke atmosfer sedemikian rupa sehingga mencipta fenomena supermoon?
Atau malah satelit itu telah bertukar empunya? Bumi bersatelitkan Titan, dan Saturnus bersatelitkan Bulan, misalnya.

Senja, bisakah kau tanyakan pada semesta bagaimana kabarnya?

Ah, kau pasti mengira aku merindukannya, ya?

Dengar. Aku bukannya rindu dia. Hanya saja, aku merasa butuh untuk mengetahui kabarnya setelah hampir sembilan puluh kali rotasi aku tak memerhati.
Sebab aku sendiri, mengalami beberapa perubahan disini.

Para manusia itu baru saja mengucap salam kenal dengan hujan es di permukaanku.
Lalu, ada lagi isu-isu tentang alien yang kembali diteliti.
Dan beberapa temuan lainnya yang mana akupun tak begitu paham apa kata mereka.

Senja. Apakah menurutmu Bumi juga ingin tahu mengenai apa-apa yang terjadi dibalik atmosferku, seperti aku yang merasa begitu perlu untuk tahu situasi dipermukaan keraknya?
Atau ia masih begitu-begitu saja? Terlalu sibuk sendiri, tak pernah lekang dari imaji miliknya pribadi.
Seperti waktu itu. Saat wujudku dapat terlihat di sudut-sudut langitnya, walau dengan telanjang mata.

Ah, sudahlah. Kurasa aku tak perlu mengetahui apa-apa tentangnya. Baik situasi di balik atmosfernya, maupun segala reaksinya atas apapun yang terjadi padaku.
Fokus pada orbitku, rasanya lebih perlu.

Mungkin saja kan, di perjalananku berkeliling tata surya nanti, aku malah bisa mendengar planet-planet lain berbincang soal Bumi.

Tapi, tidak. Aku tak mau berharap yang tidak-tidak.
Bila hal itu memang akan terjadi, terjadilah.
Tapi aku pribadi, hanya ingin peduli pada orbit milikku sendiri.
Mengitari rute sembari membuat perubahan yang berarti. Tentu saja, atas seizin Sang Empunya Semesta ini.

Bagaimana, senja? Keputusanku ini, sudah benar adanya kan?
Haha. Berarti ceritaku kali ini sudah selesai.

Oh iya, aku belum memberitahukanmu soal Jupiter.
Si Jupiter ini juga mengalami perubahan di kerak planetnya. Katanya, para manusia baru saja bertegur sapa dengan badai abadi disana.
Jangan tanya bagaimana rupa badai abadi itu padaku, ya. Aku juga tak tahu, hehe.

Baiklah senja, kurasa kita akhiri saja sesi bercerita kali ini.
Terimakasih ya, untuk bermenit-menit waktu luang yang sudah rela kau sisihkan buatku.
Sampai jumpa di lain hari.


06/01/’17
Dieny A.

Cerita Tentang Jupiter

Jupiter itu berbeda.
Bahkan tak berlebihan bila kukatakan ia terlalu berbeda.

Besarnya.
Jumlah satelitnya.
 Material pembentuknya.

Perbedaannya terlalu besar untuk menjadikannya tak tampak menonjol diantara teman se-tata-surya-nya.
Perbedaan itu terlalu renggang spasinya.

Hingga kami –yang notabene adalah temannya- begitu tak kuasa,
bahkan tak ingin berusaha untuk mengejar ketertinggalan itu.
Untuk menyamai perbedaan itu.

Menjadikan ke-menonjol-an-nya kian hari kian membesar.
Menyisakan ruang yang senantiasa melebar.
Meninggalkan ketakpahaman yang semakin merajalela.

Mirisnya, ditengah perbedaan yang kami semua sama sadari,
tak sekalipun kulihat ia yang coba membungkuk.
Menyeruak memangkas segala ruang kesenjangan.

Ia begitu kokoh.
Tak tergoyahkan bahkan oleh kami yang meronta ingin dibersamai.

Ia terlampau kekar.
Tak tergetarkan bahkan oleh kami yang meracau minta ditoleransi.

Ia terlalu mengakar.
Tak terluluhkan bahkan oleh kami yang mengemis minta dimengerti.

Ia unggul.
Tanpa bisa kami coba ungguli. Tanpa pernah membiarkan dirinya terungguli.

Ia ada.
Namun tak terasa.
Ia asing bagi kami.

Ada jarak yang tercipta di atas alam sadar sesama kami.
Spasi yang terpatri karena ego yang begitu radikal.

Tapi ada satu yang tak ia sadari.

Ia butuh kami.
Ia butuh kami yang kecil-kecil ini, untuk bisa dibilang besar.
Ia perlu kami yang satelitnya sedikit ini,untuk dapat disebut bersatelit banyak.
Ia perlu kami yang ringkih-ringkih ini, unth bleh dikatakan kekar.

Karena tak mungkin sesuatu dikatakan berbeda, bila ia tak punya pembeda.
Iya, kan?

25/12/’16
Dieny A.

Goodbye and Welcome

Selamat pagi, siapapun yang kapan lalu mendengar aku berkata
” Lupakan soal Bumi yang dulu, soal Bulan yang dulu, soal Bintang yang dulu, apalagi soal Mars yang dulu.”

Aku ingin meminta pendapat, kawan.
Apakah perlu kuucap salam perpisahan langsung teruntuknya? Atau cukup kutitip saja melalui senja dan malam, seperti kemarin?

Ah, iya. Kurasa aku harus mengucapnya langsung.
Baik, kita mulai saja.

***

Hey! Kau yang aku telah terbiasa memanggilmu Bumi.
Ini aku. Mars, atau Bintang juga bisa. Sesukamu saja lah.

Dengar. Semenjak satu purnama penuh yang lalu, aku sudah membulatkan tekad untuk berhenti memanggilmu Bumi. Atau, berhenti mem-Bumi-kan-mu. Atau bisa juga, berhenti mengaitkan kau (yang masih kuanggap Bumi) dari segala topik yang akan aku kisahkan kembali disini.

Baik, begini saja.
Kau tetap Bumi. Dan aku, juga masih Mars.

Kita itu, sama-sama planet. Jadi kupikir, bukankah harusnya kita punya satelit sendiri-sendiri? Dan, Bintang-bintang itu, memang tak ada yang punya. Bahkan boleh jadi mereka malah punya planet sendiri.

Kita itu sendiri-sendiri. Hanya bersama dalam hal Mentari. Dan disini, aku tak sekalipun menyinggung Matahari kan?

Kau punya Bulan, Bumi. Aku punya Phobos, juga Demios.
Lalu kita mau apa? Bersatu lantas, wusss...tercipta kiamat?

Jadi...
Selamat tinggal, Bumi. Selamat mengurusi Bulan-mu.
Maaf selama ini aku seolah ingin diurusi olehmu begitu, hehe.
Pun aku, meski belum, perlahan namun pasti, tentu akan menemukan sosok Phobos dan Demios itu.

Hey, aku jadi memikirkan, masa’ iya nanti aku punya dua ‘Bulan’? Hmmm, bagaimana jika kusingkat saja kedua Bulan-ku itu biar jadi satu? Phomios, mungkin?

Haha, maaf ya. Hanya sekedar intermezo, kok.

Baiklah, sampai jumpa lagi.
Sampai jumpa di fenomena-fenomena semesta yang boleh jadi bisa mempertemukan kita. Seperti fenomena kemarin, contohnya.

Omong-omong, aku baru sadar. Ternyata solusi macam ini telah pernah kuungkap, pada bagian ketiga tulisan ini. Kau ingat?

Ah, sudahlah. Aku tak ingin berlama-lama lagi.
Dadah!
***
Sudah.
Aku sudah mengucap salam perpisahan pada si Bumi.
Jadi...
Welcome, kisah baru J


29/11/’16
Dieny A.

Mengorbit Kembali (?)

Selamat malam, duhai malam.
Sudahkah sampai ke telingamu salam yang kapan lalu kutitip pada si senja itu?
Sudah, kan? Oh, syukurlah.

Baik, kurasa cukup basa-basinya.
Sekarang aku ingin lanjut berkisah soal apa-apa yang bulan lalu sempat kuutarakan pada senja.
Soal tekadku untuk berhenti berceloteh tentang semestanya Tuhan.

Sebelum segalanya, izinkan aku menyampaikan rasa salut pada diriku yang kala itu sempat begitu semangat untuk ‘bertaubat’.
Karena nyatanya, yang kini aku dapati adalah tak lebih dari seorang diri yang seolah begitu tak tentu arah.

Astaga. Sebegini mudahkah bagi Tuhan untuk membolak-balik hati seorang hamba?
Hingga batas antara keberingasan dan penyesalan menjadi sedemikian tipis untuk diseberangi, bahkan oleh aku yang terlampau lemah ini.

Lantas, apa salah bila aku membuat fatwa untuk sekedar membela diri? Bahwasanya, kala itu aku hanya sedang muak saja.
Muak saja aku pada kondisi diri kala itu.

Bukan, bukan muak pada takdirku yang telah di skenariokan Tuhan. Melainkan muak terhadap benda-benda semesta yang telah ku analogikan, tapi kian lama kian tak sesuai dengan kondisi yang tengah aku rasakan.

Namun selepas segala tetek bengek kemuakan itu mereda, aku mulai membuat suatu simpulan yang lain. Bukan untuk membela diri. Tetapi karena memang begitulah adanya logikaku bergelora.
Bahwa kurasa, menjadikan instrumen-instrumen langit itu bagian dari kiasan-kiasan dalam aksaraku, bukanlah suatu kesalahan kan?

Memangnya siapa pula yang berani-beraninya mendakwai alam fiktif dalam kepalaku ini? Ketika Tuhan bahkan telah berdalih, bahwa Dia tak akan pernah membiarkan hambanya benar-benar sendiri selagi masih dalam lingkup dunia fana ini.

Berarti bukan salahku, kan bila memilih angkasa dan atribut-atributnya menjadi teman dalam aku bercerita?

Jadi kini, mari kita mulai saja kembali.

Lupakan soal Bumi yang dulu, soal Bulan yang dulu, soal Bintang yang dulu, apalagi soal Mars yang dulu.
Karena mereka sudah benar-benar lalu. Dan aku sudah siap menerima mereka sebagai bagian dari masa laluku.

Tidakkah kau pernah dengar, bahwa awal dari proses menjadi pribadi yang lebih sejati adalah melakukan penerimaan atas diri.
Dan aku, kurasa sudah melakukannya. Dengan (cukup) baik.

Ya, semoga saja kelak aku sukses melakukan transformasi itu.

Hey, malam! Tidakkah kau mau meng-aamiin-i kalimat ‘semoga’ yang barusan kuucap itu?
Oh, tentu saja. Kau mengucapnya dalam hati saja ya?
Baiklah. Tak apa.

Kurasa, sudah dulu ya.
Selamat menyambut gulita!


21/11/’16
Dieny A.