Kepada : Nebula
Hei, Nebula! Apa kau mengenalku? Tentu saja tidak. Tidak mungkin kau
mengenali aku. Tapi aku, aku mengenalmu, Nebula. Hei-hei, Jangan bingung!
Kukatakan aku mengenalmu, tentu bukan berarti aku juga dikenali olehmu, bukan?
Jika yang terjadi adalah demikian, maka aku tidak akan mengatakan aku
mengenalmu. Melainkan, kita saling mengenal.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat. Jadi kikuk begini. Tentu saja aku tidak
perlu repot-repot menjelaskan definisi suatu kata secara mendetail, panjang,
dan lebar kepadamu, bukan? Dalam hal ini, kau jelas lebih ahli daripada aku.
Terang saja, bukumu berjajar rapi diatas rak bertuliskan ‘Terlaris’ di toko
buku di seluruh penjuru Nusantara, artikelmu bertebaran menghiasi sampul-sampul
depan media cetak ternama. Dan opinimu, senantiasa menjadi trending topic di dunia maya. Sedangkan aku? Ah, aku hanyalah
seseorang yang mengaku dirinya mengenalmu, Nebula.
Namun, jika kau berpikir sudah sewajarnya
aku mengenalmu sebab kau adalah wartawan merangkap editor, penulis yang
sesekali menjadi cover designer,
sekaligus menjadi pemilik penerbitan yang menerbitkan karya-karyamu, kau salah
Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Hanya lewat tulisan-tulisanmu. Tapi
bukan hanya dari tulisan-tulisanmu yang kini telah bernaung dalam hunian kata
paling istimewa –buku, atau dari artikel-artikel gubahanmu yang tumpah-ruah di
segala media massa. Bukan, Nebula. Bukan hanya dari situ.
Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah
Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di timeline
sosial mediamu. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di group-chat yang sama-sama kita ikuti. Aku mengenalmu lewat tulisanmu
di personal-chat kita sendiri. Aku
mengenalmu lewat tulisanmu yang kau kirim diam-diam, khusus untukku. Aku
mengenalmu lewat tulisanmu yang kau ikutkan dalam lomba kepenulisan, dan
menjadi pemenang.
Biar kuulang sekali lagi, Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu
jauh sebelum kau memproklamirkan dirimu
adalah Nebula. Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu ketika kau bahkan
masih menjadi hamparan debu di semesta. Tentu, tidak ada apa-apanya dengan nebula.
Lantas sekarang, kau berkembang sedemikian pesat dan hebat. Dari debu semesta
menjadi nebula.
Nah, dalam hal ini, aku jelas lebih banyak tahu dari dirimu. Jadi, biar
kuterangkan padamu bagaimana prosesi detail transisimu dari debu semesta
menjadi nebula. Namun sebelumnya, bisakah aku berasumsi bahwa kau sudah tahu nebula adalah kerumunan
kabut penghasil bintang di semesta karena kau memilih nama instrumen semesta
itu jadi nama penamu? Ah, kurasa bisa, ya?
Baik, aku akan menjelaskan bagaimana nebula terbentuk. Nebula terbentuk
dari hamparan debu di semesta yang senantiasa bergerak secara masiv. Yang
menyebabkan debu-debu ini lantas membaur dengan gas yang juga ada di angkasa,
menjadikan energi yang dihasilkan kolaborasi ini berkali-kali lipat lebih besar
daripada saat mereka sendiri-sendiri –seperti konsep sinergi. Ya, debu dan gas
semesta ini bersinergi, bersatu hingga terciptalah kabut dengan energi tak
terhingga yang secara berkesinambungan memuntahkan pendaran-pendaran cahaya
baru yang biasa kita sebut bintang : nebula. Namun prosesi pemersatuan ini,
bukanlah mudah adanya, Nebula. Debu-debu semesta membutuhkan seluruh energinya
untuk menyatukan diri dengan gas dari angkasa. Kesalahan sedikit saja, atau
bahkan ke-tidak-maksimal-an nol koma sekian persen saja, bisa menjadikan mereka
gagal bersatu. Lantas keduanya meledak, berhamburan kemana-mana. Pertaruhan
yang luar biasa sekali, bukan?
Sampai disini, kau bukan hanya sudah paham, bukan, Nebula? Melainkan juga sudah
menerka filosofi apa yang akan kujabarkan dalam beberapa paragraf kedepan. Ya,
Nebula. Aku tau itu. Kan sudah kukatakan, aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari
tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe
yang senantiasa beberapa langkah lebih maju dengan lawanmu –dalam hal ini aku.
Aku bahkan yakin sekali, kau sudah bisa menebak siapa aku semenjak paragraf
keempat tulisan ini. Namun kau memutuskan terus membaca, padahal jadwalmu
begitu padat. Kenapa? Ah, kau pasti lebih dari sekedar penasaran, bukan? Ada
sesuatu, Nebula. Aku tahu itu. Aku mengenalmu.
Maka filosofi yang sudah kau analisa itupun, benar adanya, Nebula. Aku
memang akan menganalogikan proses pembentukan nebula itu sebagai proses
melejitnya karir menulismu. Dulu kau memang hanya debu semesta. Namun dengan
segenap usaha, kau pertemukan dirimu dengan gas angkasa. Lantas bertaruh
hidup-mati dengannya untuk melontarkan mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Tidak
mudah, memang. Namun kau berhasil, Nebula! Kini, kau jadi nebula. Produsen
bintang-bintang yang senantiasa menerangi angkasa. Dan kau, sudah sepatutnya
berbangga akan hal itu.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat untuk kedua kali. Masalah berbangga diri,
kita berdua sama hebatnya, bukan? Aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari
tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang
dengan senang hati memotivasi orang-orang di sekitarmu dengan kisah
keberhasilanmu. Bukan sombong. Kau hanya malas mencari contoh jauh-jauh –katamu.
Kau sudah sangat banyak berubah, Nebula. Dari yang hanya debu di semesta,
kini jadi nebula. Hei, tidakkah kau bertanya-tanya mengapa aku masih bisa
mengenalimu dari tulisan-tulisanmu padahal kau sudah berubah sedemikian banyak?
Ata kau malah sudah tahu penyebabnya? Ah, kurasa tidak. Kau tidak tahu
sebabnya. Sudah kukatakan, kan. Aku mengenalmu, sekalipun hanya dari
tulisan-tulisanmu.
Baiklah, akan kupaparkan padamu sebab aku masih mengenalimu dari
tulisan-tulisanmu dulu hingga sekarang sekalipun kau telah berubah begitu
besar. Barangkali, sebab ini pula sekaligus alasan kenapa aku mengirimkan surat
ini buatmu. Atau bahkan, ini juga sebab yang sama untuk alasan kenapa kau masih
melanjutkan membaca setelah tahu siapa aku ini.
Kuberitahu kau, Nebula. Tulisanmu, sedari dahulu, sejatinya tak pernah
berubah. Atau bahkan, selalu sama. Hey, kau boleh protes bahwa tulisanmu yang
sekaraang tentulah berbeda kualitasnya dengan yang dulu. Beda kelas, beda topik
, dan lain-lain. Kau boleh protes. Tapi nanti, dengarkan dulu pemaparanku
hingga selesai.
Tulisan-tulisanmu, Nebula. Sedari dulu. Entah di timeline media sosial, group-chat
yang kita ikuti, personal-chat kita pribadi,
surat-surat rahasia yang kau kirimi, bahkan untuk lomba yang kau menangi.
Hingga saat ini. Di buku-buku best seller-mu,
di artikel yang menjadi headline di
media massa, bahkan cuitanmu yang senantiasa jadi trending topic sosial media. Selalu kutemukan suatu unsur yang
sama. Amat kentara. Bukan, bukan gaya bahasa tentu saja. Ini unsur yang
berbeda. Tak akan disadari siapa-siapa kecuali dia mengetahui kisah ini : kisah
lama yang kita usaikan sendiri-sendiri, tapi nyatanya masih bercokol dalam
hati.
Kau tahu, Nebula. Aku menemukan diriku disetiap tulisanmu. Sedari dulu.
Hingga saat ini. Entah itu jadi tokoh utama, atau hanya sekedar perumpama.
Selalu ada aku di tiap tulisanmu ‘kan,
Nebula? Tidak ada lagi pura-pura. Kenyataannya, kau belum berhasil memaksaku
keluar dari istana megah tempat ide-idemu bersemayam. Aku masih jadi amunisi
paling mutakhir milikmu untuk menempatkan seluruh karyamu di jajaran teratas
segala media.
Ya, Nebula. Akhirnya, kuperkenalkan diriku : Orion.
Sisanya, silahkan kau simpulkan sendiri, ya. Kau tentunya jauh lebih ahli
ketimbang aku.
Sampai jumpa!
Dari : Orion
Tidak ada komentar:
Posting Komentar