Jumat, 10 Maret 2017

Sepucuk Surat Dari Masa Depan


Kepada : Nebula


Hei, Nebula! Apa kau mengenalku? Tentu saja tidak. Tidak mungkin kau mengenali aku. Tapi aku, aku mengenalmu, Nebula. Hei-hei, Jangan bingung! Kukatakan aku mengenalmu, tentu bukan berarti aku juga dikenali olehmu, bukan? Jika yang terjadi adalah demikian, maka aku tidak akan mengatakan aku mengenalmu. Melainkan, kita saling mengenal.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat. Jadi kikuk begini. Tentu saja aku tidak perlu repot-repot menjelaskan definisi suatu kata secara mendetail, panjang, dan lebar kepadamu, bukan? Dalam hal ini, kau jelas lebih ahli daripada aku. Terang saja, bukumu berjajar rapi diatas rak bertuliskan ‘Terlaris’ di toko buku di seluruh penjuru Nusantara, artikelmu bertebaran menghiasi sampul-sampul depan media cetak ternama. Dan opinimu, senantiasa menjadi trending topic di dunia maya. Sedangkan aku? Ah, aku hanyalah seseorang yang mengaku dirinya mengenalmu, Nebula.
Namun, jika kau berpikir sudah sewajarnya  aku mengenalmu sebab kau adalah wartawan merangkap editor, penulis yang sesekali menjadi cover designer, sekaligus menjadi pemilik penerbitan yang menerbitkan karya-karyamu, kau salah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Hanya lewat tulisan-tulisanmu. Tapi bukan hanya dari tulisan-tulisanmu yang kini telah bernaung dalam hunian kata paling istimewa –buku, atau dari artikel-artikel gubahanmu yang tumpah-ruah di segala media massa. Bukan, Nebula. Bukan hanya dari situ.
Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di timeline sosial mediamu. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di group-chat yang sama-sama kita ikuti. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di personal-chat kita sendiri. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau kirim diam-diam, khusus untukku. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau ikutkan dalam lomba kepenulisan, dan menjadi pemenang.
Biar kuulang sekali lagi, Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu ketika kau bahkan masih menjadi hamparan debu di semesta. Tentu, tidak ada apa-apanya dengan nebula. Lantas sekarang, kau berkembang sedemikian pesat dan hebat. Dari debu semesta menjadi nebula.
Nah, dalam hal ini, aku jelas lebih banyak tahu dari dirimu. Jadi, biar kuterangkan padamu bagaimana prosesi detail transisimu dari debu semesta menjadi nebula. Namun sebelumnya, bisakah aku berasumsi  bahwa kau sudah tahu nebula adalah kerumunan kabut penghasil bintang di semesta karena kau memilih nama instrumen semesta itu jadi nama penamu? Ah, kurasa bisa, ya?
Baik, aku akan menjelaskan bagaimana nebula terbentuk. Nebula terbentuk dari hamparan debu di semesta yang senantiasa bergerak secara masiv. Yang menyebabkan debu-debu ini lantas membaur dengan gas yang juga ada di angkasa, menjadikan energi yang dihasilkan kolaborasi ini berkali-kali lipat lebih besar daripada saat mereka sendiri-sendiri –seperti konsep sinergi. Ya, debu dan gas semesta ini bersinergi, bersatu hingga terciptalah kabut dengan energi tak terhingga yang secara berkesinambungan memuntahkan pendaran-pendaran cahaya baru yang biasa kita sebut bintang : nebula. Namun prosesi pemersatuan ini, bukanlah mudah adanya, Nebula. Debu-debu semesta membutuhkan seluruh energinya untuk menyatukan diri dengan gas dari angkasa. Kesalahan sedikit saja, atau bahkan ke-tidak-maksimal-an nol koma sekian persen saja, bisa menjadikan mereka gagal bersatu. Lantas keduanya meledak, berhamburan kemana-mana. Pertaruhan yang luar biasa sekali, bukan?
Sampai disini, kau bukan hanya sudah paham, bukan, Nebula? Melainkan juga sudah menerka filosofi apa yang akan kujabarkan dalam beberapa paragraf kedepan. Ya, Nebula. Aku tau itu. Kan sudah kukatakan, aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang senantiasa beberapa langkah lebih maju dengan lawanmu –dalam hal ini aku. Aku bahkan yakin sekali, kau sudah bisa menebak siapa aku semenjak paragraf keempat tulisan ini. Namun kau memutuskan terus membaca, padahal jadwalmu begitu padat. Kenapa? Ah, kau pasti lebih dari sekedar penasaran, bukan? Ada sesuatu, Nebula. Aku tahu itu. Aku mengenalmu.
Maka filosofi yang sudah kau analisa itupun, benar adanya, Nebula. Aku memang akan menganalogikan proses pembentukan nebula itu sebagai proses melejitnya karir menulismu. Dulu kau memang hanya debu semesta. Namun dengan segenap usaha, kau pertemukan dirimu dengan gas angkasa. Lantas bertaruh hidup-mati dengannya untuk melontarkan mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Tidak mudah, memang. Namun kau berhasil, Nebula! Kini, kau jadi nebula. Produsen bintang-bintang yang senantiasa menerangi angkasa. Dan kau, sudah sepatutnya berbangga akan hal itu.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat untuk kedua kali. Masalah berbangga diri, kita berdua sama hebatnya, bukan? Aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang dengan senang hati memotivasi orang-orang di sekitarmu dengan kisah keberhasilanmu. Bukan sombong. Kau hanya malas mencari contoh jauh-jauh –katamu.
Kau sudah sangat banyak berubah, Nebula. Dari yang hanya debu di semesta, kini jadi nebula. Hei, tidakkah kau bertanya-tanya mengapa aku masih bisa mengenalimu dari tulisan-tulisanmu padahal kau sudah berubah sedemikian banyak? Ata kau malah sudah tahu penyebabnya? Ah, kurasa tidak. Kau tidak tahu sebabnya. Sudah kukatakan, kan. Aku mengenalmu, sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu.
Baiklah, akan kupaparkan padamu sebab aku masih mengenalimu dari tulisan-tulisanmu dulu hingga sekarang sekalipun kau telah berubah begitu besar. Barangkali, sebab ini pula sekaligus alasan kenapa aku mengirimkan surat ini buatmu. Atau bahkan, ini juga sebab yang sama untuk alasan kenapa kau masih melanjutkan membaca setelah tahu siapa aku ini.
Kuberitahu kau, Nebula. Tulisanmu, sedari dahulu, sejatinya tak pernah berubah. Atau bahkan, selalu sama. Hey, kau boleh protes bahwa tulisanmu yang sekaraang tentulah berbeda kualitasnya dengan yang dulu. Beda kelas, beda topik , dan lain-lain. Kau boleh protes. Tapi nanti, dengarkan dulu pemaparanku hingga selesai.
Tulisan-tulisanmu, Nebula. Sedari dulu. Entah di timeline media sosial, group-chat yang kita ikuti, personal-chat kita pribadi, surat-surat rahasia yang kau kirimi, bahkan untuk lomba yang kau menangi. Hingga saat ini. Di buku-buku best seller-mu, di artikel yang menjadi headline di media massa, bahkan cuitanmu yang senantiasa jadi trending topic sosial media. Selalu kutemukan suatu unsur yang sama. Amat kentara. Bukan, bukan gaya bahasa tentu saja. Ini unsur yang berbeda. Tak akan disadari siapa-siapa kecuali dia mengetahui kisah ini : kisah lama yang kita usaikan sendiri-sendiri, tapi nyatanya masih bercokol dalam hati.
Kau tahu, Nebula. Aku menemukan diriku disetiap tulisanmu. Sedari dulu. Hingga saat ini. Entah itu jadi tokoh utama, atau hanya sekedar perumpama. Selalu ada aku di tiap tulisanmu ‘kan, Nebula? Tidak ada lagi pura-pura. Kenyataannya, kau belum berhasil memaksaku keluar dari istana megah tempat ide-idemu bersemayam. Aku masih jadi amunisi paling mutakhir milikmu untuk menempatkan seluruh karyamu di jajaran teratas segala media.
Ya, Nebula. Akhirnya, kuperkenalkan diriku : Orion.
Sisanya, silahkan kau simpulkan sendiri, ya. Kau tentunya jauh lebih ahli ketimbang aku.
Sampai jumpa!

Dari : Orion


Tidak ada komentar:

Posting Komentar