Senin, 13 Maret 2017

Perihal Biasa dan Tak Biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Adalah perihal yang biasa mereka lihat angin mencipta riak
Belanja di mall,baru luar biasa

Bagi anak-anak laut, bagi bapak-bapak nelayan, dan bagi ibu-ibu petani garam
Bukan perihal istimewa ketika mereka lihat senja ditelan ombak
Naik wahana di taman wista, baru istimewa

Sebab hari-hari, merekalah saksi atas atraksi yang angin dan ombak lakoni

Anak-anak laut lain dengan anak-anak kota
Bapak-bapak nelayan berbeda dengan bapak-bapak karyawan
Ibu-ibu petani garam pun tak sama dengan ibu-ibu arisan

Sebab beda lokasi, beda pula yang diamati
Semua ini hanya perihal biasa dan tak biasa

Sederhana dan istimewa, itu ilusi
Semua ini hanya perihal biasa da tak biasa

Yang terus saja berotasi
Hingga bosan, lantas mati


26-12-'14
Inspirasi : berkas senja di Selat Sunda

Tentang Sebuah Jalan

Kupikir semua ini mudah. Meskipun pasti tak semudah membalikkan telapak tangan. Atau kalaupun ini sulit, kupikir tak sesulit yang dikatakan orang-orang yang kukira hiperbolis itu. Atau setidaknya, kupikir aku masih bisa melaluinya dengan niat yang tak akan goyah se-milimeter-pun. Meski harus dengan langkah terseret-seret nyaris tak bergerak. Kupikir aku bisa. Kupikir, kupikir, kupikir... aku kehabisan kata-kata. Ya, kupikir sekarang aku kehabisan kata-kata.
Tapi nyatanya, aku salah. Jalan ini sungguh berat, kawan. Sungguh, aku tak sedang berhiperbola, bahkan aku memang bukan seorang hiperbolis. Maka percayalah. Jalan ini penuh duri, penuh akan hal yang kau tak sukai, membuatmu merasa terasing, bahkan jalan ini akan memintai segala yang engkau punya, dan yang terburuk, membuat kau senantiasa di bayang-bayangi hasrat untuk mundur saja, berhenti, dan bercukup akan mengurusi dirimu sendiri.
Tapi –lagi, ketahuilah sahabat. Sekali kau sukses melaksanakannya, kau akan memperoleh secercah kebahagiaan yang menurutku tak akan habis meski kau tebarkan ke jutaan orang di dunia. Hatimu dipenuhi kehangatan seakan tengah dibalut belaian ibu. Jiwamu diselimuti rasa damai yang seolah kedamaian macam itu hanya bisa kau dapat di tempat antah berantah dalam imajinasimu. Aku serius. Dan tentu saja aku bukanlah seorang pembual ulung.
Lalu setelah serangkaian kebahagiaan itu sempurna menelusup dalam dirimu, kau akan bertanya darimana ini semua berasal. Seberapa berarti yang telah kau lakukan hingga segini hebat balasannya. Seakan kau mendadak amnesia akan betapa perihnya perjuangan yang kau sudah lancarkan. Lalu kau menyadari betapa kau sudah terikat dengan jalan ini, membuat kau tanpa sadar berjanji tak mau lepas dari jalan ini untuk selamanya.
Lalu –lagi, kau kembali mendapat tugas. Kali ini lebih berat dari yang kemarin lalu sukses kau eksekusi. Dan kau menyadari, seluruh yang ada di benakmu adalah apa yang telah kutuangkan dalam paragraf pertama kisah ini, namun belum tentu berakhir sesuai pada apa yang tertera di paragraf ini. Boleh jadi kau gagal, atau mudur. Tapi aku yakin, pasti temanmu cukup hebat untuk mampu menahanmu agar kau tak sampai roboh, barangkali kau butuh rehat sejenak. Barangkali kau butuh me-recharge semangatmu. Dan kau kembali menjadi pion utama paling prima di jalan ini. Tapi, semua pilihan tetaplah ditanganmu, teman. Maka berbijak-bijaklah memilih langkah.
Dan sekali lagi kutegaskan padamu, aku bukanlah seorang hiperbolis, apalagi seorang pembual ulung. Aku hanya membagikan apa-apa yang aku rasakan. Itu saja.
Bila kau bertanya jalan apakah yang telah kudeskripsi hampir sepanjang satu halaman ini, maka aku akan menjawab dengan sepenuh hati; ini adalah jalan dakwah.
Ya, jalan dakwah sobat.
Jalan inilah yang diperjuangkan Rasul kita tercinta mati-matian hingga titik darah penghabisan. Dan aku, disini, berjanji; Akan mengarungi jalan ini dengan sepenuh hati, seterjal apapun karang yang menghadang. Menyambung rute yang tak boleh putus ini hingga ajal mengizinkanku untuk berhenti. Maka,
Bismillah.

Satelit Buatan Manusia

Halo, senja! Bolehkah aku berbagi cerita?

Tenang saja, senja. Kali ini aku tidak akan memintamu menanyakan kabar Bumi pada semesta, kok.
Sebab sekarang aku sudah tahu kondisinya.

Kau penasaran apa yang terjadi? Nah, biar kuceritakan.

Kami tidak bertemu, senja. Tentu saja kami tidak bertemu, kalender astronomi yang dibuat manusia-manusia jenius itu kan selalu benar.
Hanya saja, teknologi manusia-manusia jenius itu juga semakin mencanggih.

Kau tahu, sekarang satelit buatan mereka sudah mampu mencipta koneksi antar-planet.
Maka, ya. Satelit-satelit itulah yang memegang andil besar atas menjadi-tahu-nya aku akan kabar si Bumi.
Tidak, aku tidak akan mengaitkan koneksiku dengan Bumi ini terhadap Bulan, Phobos, maupun Demios. Tentu saja.

Hanya saja... entahlah. Rasanya seolah-olah jutaan meteor menghujani permukaanku. Begitu mengejutkan.
Membuatku megap, tak kuat menerima debaran yang menghantam terus-terusan.
Tapi sudah. Begitu saja. Hanya terkejut yang aku rasa. Hanya debaran yang aku derita. Sisanya, biasa saja.

Aku tidak berharap, senja. Sungguh, aku senantiasa berusaha untuk tidak berharap yang tidak-tidak.
Tapi aku bisa apa, senja? Aku ini hanya Mars. Hanya batu yang terindikasi di permukaanku.

Kau tahu kan, issue kiamat yang disebabkan oleh hujan meteor itu? Nah, itulah yang kukhawatirkan.
Aku berusaha menawan harapku agar tak sampai menguar liar. Tapi bagaimana dengan meteor yang membadai menerpa permukaanku? Kuatkah aku menahannya, senja?

Aku tidak mau jadi seperti Bulan, yang permukaannya berlubang karena meteor menyerang.
Aku tidak ingin segala koneksiku dengan Bumi menorehkan bekas yang tak mungkin terobati bahkan oleh sang penyembuh paling mumpuni : waktu.

Aku ingin melupakannya, senja.
Tapi aku bisa apa? Menghantam satelit-satelit buatan manusia itu agar tak lagi mengkoneksikan kami? Atau cukup dengan menolak segala usaha Bumi dan para satelit itu mengontaki? Atau cukup dengan mengikis meteor-meteor itu di atmosfer, agar tak sampai menghujami kerakku?

Ah... apapun itu, akupun ingin sekali melakonkan skenario itu, senja.
Tapi aku tak kuasa. Belum merasa bisa.

Entahlah, debaran yang dicipta hujan meteor itu masih terasa begitu mengasyikkan bagiku
Jadi aku harus apa, senja? Haruskah aku melawan gejolak untuk merasakan debaran itu?

Ah, kurasa harus, ya?

Kalau begitu, senja, maukah kau membantuku? Membantu membinasakan gejolak itu?
Tolonglah, senja. Bantu aku. Kuatkan aku. Teguhkan tekadku.
Jadilah perpanjangan tangan Sang Empunya Semesta untuk menjelma sebagai penolongku.

Ya?



11/03/’17
Dieny A.

Jumat, 10 Maret 2017

Sepucuk Surat Dari Masa Depan


Kepada : Nebula


Hei, Nebula! Apa kau mengenalku? Tentu saja tidak. Tidak mungkin kau mengenali aku. Tapi aku, aku mengenalmu, Nebula. Hei-hei, Jangan bingung! Kukatakan aku mengenalmu, tentu bukan berarti aku juga dikenali olehmu, bukan? Jika yang terjadi adalah demikian, maka aku tidak akan mengatakan aku mengenalmu. Melainkan, kita saling mengenal.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat. Jadi kikuk begini. Tentu saja aku tidak perlu repot-repot menjelaskan definisi suatu kata secara mendetail, panjang, dan lebar kepadamu, bukan? Dalam hal ini, kau jelas lebih ahli daripada aku. Terang saja, bukumu berjajar rapi diatas rak bertuliskan ‘Terlaris’ di toko buku di seluruh penjuru Nusantara, artikelmu bertebaran menghiasi sampul-sampul depan media cetak ternama. Dan opinimu, senantiasa menjadi trending topic di dunia maya. Sedangkan aku? Ah, aku hanyalah seseorang yang mengaku dirinya mengenalmu, Nebula.
Namun, jika kau berpikir sudah sewajarnya  aku mengenalmu sebab kau adalah wartawan merangkap editor, penulis yang sesekali menjadi cover designer, sekaligus menjadi pemilik penerbitan yang menerbitkan karya-karyamu, kau salah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu. Hanya lewat tulisan-tulisanmu. Tapi bukan hanya dari tulisan-tulisanmu yang kini telah bernaung dalam hunian kata paling istimewa –buku, atau dari artikel-artikel gubahanmu yang tumpah-ruah di segala media massa. Bukan, Nebula. Bukan hanya dari situ.
Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di timeline sosial mediamu. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di group-chat yang sama-sama kita ikuti. Aku mengenalmu lewat tulisanmu di personal-chat kita sendiri. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau kirim diam-diam, khusus untukku. Aku mengenalmu lewat tulisanmu yang kau ikutkan dalam lomba kepenulisan, dan menjadi pemenang.
Biar kuulang sekali lagi, Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu jauh  sebelum kau memproklamirkan dirimu adalah Nebula. Aku sudah mengenalmu lewat tulisan-tulisanmu ketika kau bahkan masih menjadi hamparan debu di semesta. Tentu, tidak ada apa-apanya dengan nebula. Lantas sekarang, kau berkembang sedemikian pesat dan hebat. Dari debu semesta menjadi nebula.
Nah, dalam hal ini, aku jelas lebih banyak tahu dari dirimu. Jadi, biar kuterangkan padamu bagaimana prosesi detail transisimu dari debu semesta menjadi nebula. Namun sebelumnya, bisakah aku berasumsi  bahwa kau sudah tahu nebula adalah kerumunan kabut penghasil bintang di semesta karena kau memilih nama instrumen semesta itu jadi nama penamu? Ah, kurasa bisa, ya?
Baik, aku akan menjelaskan bagaimana nebula terbentuk. Nebula terbentuk dari hamparan debu di semesta yang senantiasa bergerak secara masiv. Yang menyebabkan debu-debu ini lantas membaur dengan gas yang juga ada di angkasa, menjadikan energi yang dihasilkan kolaborasi ini berkali-kali lipat lebih besar daripada saat mereka sendiri-sendiri –seperti konsep sinergi. Ya, debu dan gas semesta ini bersinergi, bersatu hingga terciptalah kabut dengan energi tak terhingga yang secara berkesinambungan memuntahkan pendaran-pendaran cahaya baru yang biasa kita sebut bintang : nebula. Namun prosesi pemersatuan ini, bukanlah mudah adanya, Nebula. Debu-debu semesta membutuhkan seluruh energinya untuk menyatukan diri dengan gas dari angkasa. Kesalahan sedikit saja, atau bahkan ke-tidak-maksimal-an nol koma sekian persen saja, bisa menjadikan mereka gagal bersatu. Lantas keduanya meledak, berhamburan kemana-mana. Pertaruhan yang luar biasa sekali, bukan?
Sampai disini, kau bukan hanya sudah paham, bukan, Nebula? Melainkan juga sudah menerka filosofi apa yang akan kujabarkan dalam beberapa paragraf kedepan. Ya, Nebula. Aku tau itu. Kan sudah kukatakan, aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang senantiasa beberapa langkah lebih maju dengan lawanmu –dalam hal ini aku. Aku bahkan yakin sekali, kau sudah bisa menebak siapa aku semenjak paragraf keempat tulisan ini. Namun kau memutuskan terus membaca, padahal jadwalmu begitu padat. Kenapa? Ah, kau pasti lebih dari sekedar penasaran, bukan? Ada sesuatu, Nebula. Aku tahu itu. Aku mengenalmu.
Maka filosofi yang sudah kau analisa itupun, benar adanya, Nebula. Aku memang akan menganalogikan proses pembentukan nebula itu sebagai proses melejitnya karir menulismu. Dulu kau memang hanya debu semesta. Namun dengan segenap usaha, kau pertemukan dirimu dengan gas angkasa. Lantas bertaruh hidup-mati dengannya untuk melontarkan mimpi-mimpimu ke dunia nyata. Tidak mudah, memang. Namun kau berhasil, Nebula! Kini, kau jadi nebula. Produsen bintang-bintang yang senantiasa menerangi angkasa. Dan kau, sudah sepatutnya berbangga akan hal itu.
Ah, tentu saja! Aku menepuk jidat untuk kedua kali. Masalah berbangga diri, kita berdua sama hebatnya, bukan? Aku mengenalmu. Sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu, aku bisa membaca dengan amat jelas bahwa kau adalah tipe yang dengan senang hati memotivasi orang-orang di sekitarmu dengan kisah keberhasilanmu. Bukan sombong. Kau hanya malas mencari contoh jauh-jauh –katamu.
Kau sudah sangat banyak berubah, Nebula. Dari yang hanya debu di semesta, kini jadi nebula. Hei, tidakkah kau bertanya-tanya mengapa aku masih bisa mengenalimu dari tulisan-tulisanmu padahal kau sudah berubah sedemikian banyak? Ata kau malah sudah tahu penyebabnya? Ah, kurasa tidak. Kau tidak tahu sebabnya. Sudah kukatakan, kan. Aku mengenalmu, sekalipun hanya dari tulisan-tulisanmu.
Baiklah, akan kupaparkan padamu sebab aku masih mengenalimu dari tulisan-tulisanmu dulu hingga sekarang sekalipun kau telah berubah begitu besar. Barangkali, sebab ini pula sekaligus alasan kenapa aku mengirimkan surat ini buatmu. Atau bahkan, ini juga sebab yang sama untuk alasan kenapa kau masih melanjutkan membaca setelah tahu siapa aku ini.
Kuberitahu kau, Nebula. Tulisanmu, sedari dahulu, sejatinya tak pernah berubah. Atau bahkan, selalu sama. Hey, kau boleh protes bahwa tulisanmu yang sekaraang tentulah berbeda kualitasnya dengan yang dulu. Beda kelas, beda topik , dan lain-lain. Kau boleh protes. Tapi nanti, dengarkan dulu pemaparanku hingga selesai.
Tulisan-tulisanmu, Nebula. Sedari dulu. Entah di timeline media sosial, group-chat yang kita ikuti, personal-chat kita pribadi, surat-surat rahasia yang kau kirimi, bahkan untuk lomba yang kau menangi. Hingga saat ini. Di buku-buku best seller-mu, di artikel yang menjadi headline di media massa, bahkan cuitanmu yang senantiasa jadi trending topic sosial media. Selalu kutemukan suatu unsur yang sama. Amat kentara. Bukan, bukan gaya bahasa tentu saja. Ini unsur yang berbeda. Tak akan disadari siapa-siapa kecuali dia mengetahui kisah ini : kisah lama yang kita usaikan sendiri-sendiri, tapi nyatanya masih bercokol dalam hati.
Kau tahu, Nebula. Aku menemukan diriku disetiap tulisanmu. Sedari dulu. Hingga saat ini. Entah itu jadi tokoh utama, atau hanya sekedar perumpama. Selalu ada aku di tiap tulisanmu ‘kan, Nebula? Tidak ada lagi pura-pura. Kenyataannya, kau belum berhasil memaksaku keluar dari istana megah tempat ide-idemu bersemayam. Aku masih jadi amunisi paling mutakhir milikmu untuk menempatkan seluruh karyamu di jajaran teratas segala media.
Ya, Nebula. Akhirnya, kuperkenalkan diriku : Orion.
Sisanya, silahkan kau simpulkan sendiri, ya. Kau tentunya jauh lebih ahli ketimbang aku.
Sampai jumpa!

Dari : Orion


Perkataan Bintang

Assalamualaikum, fajar. Boleh aku meminta waktumu sejenak untukku bercerita?

Begini. Aku sedang sebal dengan seorang Bintang.
Alasannya? Sangat sederhana. Sebab ia dengan berani-beraninya menyampaikan kabar akan kedatangan Bumi ke sisi-sisi langitku.
Membuat aku yang tengah kewalahan menyambut kedatangan salju di kerakku, menyempat-nyempatkan waktu untuk menengoknya. Dan mempersiapkan diri pula untuk ditengoknya.

Kau tahu, aku bahkan membuat sebuah puisi. Puisi. Buatnya.
Judulnya ‘Pertemuan’.

Haha. Nista, ya? Menyadari betapa aku mendamba suatu pertemuan, yang bahkan informasi mengenainya masih bisa dikategorikan hoax. Tidak pasti. Tidak jelas. Namun masih sanggup membuatku begitu berharap.

Harap ini, aku tak tahu sebabnya. Bahkan aku sendiri tak tahu darimana asalnya, dan bagaimana datangnya.
Yang aku tahu. Aku sudah bertekad melupakan dia. Dan kurasa, sudah berhasil pula melupakan dia. 
Tapi kenapa, masih berharap? Masih mendamba jumpa? Sampai-sampai membuat puisi segala.

Dan tentu saja. Cerita ini klise. Klasik. Retoris. Tertebak akhirnya.
Bumi tidak datang. Atmosfer kami tak bersisian.
Maka kusimpulkan, Bintang itu berdusta.

Fajar, sebenarnya batas antara acuh dengan rindu itu apa? Kenapa makin kemari, makin tak jelas aku memaknainya? Kenapa batas itu semakin kabur?
Aku tidak mengerti, fajar. Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka? Kenapa jadi tak teranalisa?

Sebetulnya, sejak entah berapa purnama belakangan ini (lebih tepatnya sejak bagian keenam tulisan ini), aku memang yakin bahwa aku sudah tak punya rasa. Malah, aku sampai bisa menjadikannya bahan bercanda. Yah, meski kuakui, dia masih menjadi tokoh utama di hampir semua tulisanku.

Namun sudah dua minggu ini, entah mengapa topik-topik tentangnya menjadi sensitif lagi buat telingaku. Kabar-kabar mengenainya, mengundang dahaga buatku. Bahkan aku sampai ragu, sebenarnya Bintang itu yang mengabariku, atau aku yang menggali-gali kabar padanya.

Jadi, fajar. Kuulang lagi pertanyaanku.
Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?

Kata seorang Bintang yang lain, aku memang tak pernah berhenti merasa padanya. Bahkan, aku belum pernah berusaha untuk memberhentikannya.
Yang lantas membuat aku merenung sendiri.

Kuulang kembali tanya-tanyaku tadi
Sebenarnya apa mau semesta? Aku ini sudah lupa, atau masih suka?


01/02/’17
Dieny A.

Bertanya Kabar

Selamat petang, senja.
Rasanya sudah lama ya, semenjak kali terakhir kita berbagi cerita.
Kau rindu aku, kan? Haha, aku juga, kok.

Maka dari itu, biarkan aku bercerita padamu, untuk kita melepas rindu. Oke?
Begini. Aku hanya sedang memikirkan, apa yang kiranya tengah terjadi di muka Bumi akhir-akhir ini.

Adakah para manusia itu mengungkap suatu temuan baru dari keraknya?
Apakah ia masih tetap mengorbit sesuai rutenya?
Atau malah jadi macam Pluto yang orbitnya kian memipih menindih Uranus?
Mungkinkah Bulan miliknya tengah melipir ke atmosfer sedemikian rupa sehingga mencipta fenomena supermoon?
Atau malah satelit itu telah bertukar empunya? Bumi bersatelitkan Titan, dan Saturnus bersatelitkan Bulan, misalnya.

Senja, bisakah kau tanyakan pada semesta bagaimana kabarnya?

Ah, kau pasti mengira aku merindukannya, ya?

Dengar. Aku bukannya rindu dia. Hanya saja, aku merasa butuh untuk mengetahui kabarnya setelah hampir sembilan puluh kali rotasi aku tak memerhati.
Sebab aku sendiri, mengalami beberapa perubahan disini.

Para manusia itu baru saja mengucap salam kenal dengan hujan es di permukaanku.
Lalu, ada lagi isu-isu tentang alien yang kembali diteliti.
Dan beberapa temuan lainnya yang mana akupun tak begitu paham apa kata mereka.

Senja. Apakah menurutmu Bumi juga ingin tahu mengenai apa-apa yang terjadi dibalik atmosferku, seperti aku yang merasa begitu perlu untuk tahu situasi dipermukaan keraknya?
Atau ia masih begitu-begitu saja? Terlalu sibuk sendiri, tak pernah lekang dari imaji miliknya pribadi.
Seperti waktu itu. Saat wujudku dapat terlihat di sudut-sudut langitnya, walau dengan telanjang mata.

Ah, sudahlah. Kurasa aku tak perlu mengetahui apa-apa tentangnya. Baik situasi di balik atmosfernya, maupun segala reaksinya atas apapun yang terjadi padaku.
Fokus pada orbitku, rasanya lebih perlu.

Mungkin saja kan, di perjalananku berkeliling tata surya nanti, aku malah bisa mendengar planet-planet lain berbincang soal Bumi.

Tapi, tidak. Aku tak mau berharap yang tidak-tidak.
Bila hal itu memang akan terjadi, terjadilah.
Tapi aku pribadi, hanya ingin peduli pada orbit milikku sendiri.
Mengitari rute sembari membuat perubahan yang berarti. Tentu saja, atas seizin Sang Empunya Semesta ini.

Bagaimana, senja? Keputusanku ini, sudah benar adanya kan?
Haha. Berarti ceritaku kali ini sudah selesai.

Oh iya, aku belum memberitahukanmu soal Jupiter.
Si Jupiter ini juga mengalami perubahan di kerak planetnya. Katanya, para manusia baru saja bertegur sapa dengan badai abadi disana.
Jangan tanya bagaimana rupa badai abadi itu padaku, ya. Aku juga tak tahu, hehe.

Baiklah senja, kurasa kita akhiri saja sesi bercerita kali ini.
Terimakasih ya, untuk bermenit-menit waktu luang yang sudah rela kau sisihkan buatku.
Sampai jumpa di lain hari.


06/01/’17
Dieny A.

Cerita Tentang Jupiter

Jupiter itu berbeda.
Bahkan tak berlebihan bila kukatakan ia terlalu berbeda.

Besarnya.
Jumlah satelitnya.
 Material pembentuknya.

Perbedaannya terlalu besar untuk menjadikannya tak tampak menonjol diantara teman se-tata-surya-nya.
Perbedaan itu terlalu renggang spasinya.

Hingga kami –yang notabene adalah temannya- begitu tak kuasa,
bahkan tak ingin berusaha untuk mengejar ketertinggalan itu.
Untuk menyamai perbedaan itu.

Menjadikan ke-menonjol-an-nya kian hari kian membesar.
Menyisakan ruang yang senantiasa melebar.
Meninggalkan ketakpahaman yang semakin merajalela.

Mirisnya, ditengah perbedaan yang kami semua sama sadari,
tak sekalipun kulihat ia yang coba membungkuk.
Menyeruak memangkas segala ruang kesenjangan.

Ia begitu kokoh.
Tak tergoyahkan bahkan oleh kami yang meronta ingin dibersamai.

Ia terlampau kekar.
Tak tergetarkan bahkan oleh kami yang meracau minta ditoleransi.

Ia terlalu mengakar.
Tak terluluhkan bahkan oleh kami yang mengemis minta dimengerti.

Ia unggul.
Tanpa bisa kami coba ungguli. Tanpa pernah membiarkan dirinya terungguli.

Ia ada.
Namun tak terasa.
Ia asing bagi kami.

Ada jarak yang tercipta di atas alam sadar sesama kami.
Spasi yang terpatri karena ego yang begitu radikal.

Tapi ada satu yang tak ia sadari.

Ia butuh kami.
Ia butuh kami yang kecil-kecil ini, untuk bisa dibilang besar.
Ia perlu kami yang satelitnya sedikit ini,untuk dapat disebut bersatelit banyak.
Ia perlu kami yang ringkih-ringkih ini, unth bleh dikatakan kekar.

Karena tak mungkin sesuatu dikatakan berbeda, bila ia tak punya pembeda.
Iya, kan?

25/12/’16
Dieny A.

Goodbye and Welcome

Selamat pagi, siapapun yang kapan lalu mendengar aku berkata
” Lupakan soal Bumi yang dulu, soal Bulan yang dulu, soal Bintang yang dulu, apalagi soal Mars yang dulu.”

Aku ingin meminta pendapat, kawan.
Apakah perlu kuucap salam perpisahan langsung teruntuknya? Atau cukup kutitip saja melalui senja dan malam, seperti kemarin?

Ah, iya. Kurasa aku harus mengucapnya langsung.
Baik, kita mulai saja.

***

Hey! Kau yang aku telah terbiasa memanggilmu Bumi.
Ini aku. Mars, atau Bintang juga bisa. Sesukamu saja lah.

Dengar. Semenjak satu purnama penuh yang lalu, aku sudah membulatkan tekad untuk berhenti memanggilmu Bumi. Atau, berhenti mem-Bumi-kan-mu. Atau bisa juga, berhenti mengaitkan kau (yang masih kuanggap Bumi) dari segala topik yang akan aku kisahkan kembali disini.

Baik, begini saja.
Kau tetap Bumi. Dan aku, juga masih Mars.

Kita itu, sama-sama planet. Jadi kupikir, bukankah harusnya kita punya satelit sendiri-sendiri? Dan, Bintang-bintang itu, memang tak ada yang punya. Bahkan boleh jadi mereka malah punya planet sendiri.

Kita itu sendiri-sendiri. Hanya bersama dalam hal Mentari. Dan disini, aku tak sekalipun menyinggung Matahari kan?

Kau punya Bulan, Bumi. Aku punya Phobos, juga Demios.
Lalu kita mau apa? Bersatu lantas, wusss...tercipta kiamat?

Jadi...
Selamat tinggal, Bumi. Selamat mengurusi Bulan-mu.
Maaf selama ini aku seolah ingin diurusi olehmu begitu, hehe.
Pun aku, meski belum, perlahan namun pasti, tentu akan menemukan sosok Phobos dan Demios itu.

Hey, aku jadi memikirkan, masa’ iya nanti aku punya dua ‘Bulan’? Hmmm, bagaimana jika kusingkat saja kedua Bulan-ku itu biar jadi satu? Phomios, mungkin?

Haha, maaf ya. Hanya sekedar intermezo, kok.

Baiklah, sampai jumpa lagi.
Sampai jumpa di fenomena-fenomena semesta yang boleh jadi bisa mempertemukan kita. Seperti fenomena kemarin, contohnya.

Omong-omong, aku baru sadar. Ternyata solusi macam ini telah pernah kuungkap, pada bagian ketiga tulisan ini. Kau ingat?

Ah, sudahlah. Aku tak ingin berlama-lama lagi.
Dadah!
***
Sudah.
Aku sudah mengucap salam perpisahan pada si Bumi.
Jadi...
Welcome, kisah baru J


29/11/’16
Dieny A.

Mengorbit Kembali (?)

Selamat malam, duhai malam.
Sudahkah sampai ke telingamu salam yang kapan lalu kutitip pada si senja itu?
Sudah, kan? Oh, syukurlah.

Baik, kurasa cukup basa-basinya.
Sekarang aku ingin lanjut berkisah soal apa-apa yang bulan lalu sempat kuutarakan pada senja.
Soal tekadku untuk berhenti berceloteh tentang semestanya Tuhan.

Sebelum segalanya, izinkan aku menyampaikan rasa salut pada diriku yang kala itu sempat begitu semangat untuk ‘bertaubat’.
Karena nyatanya, yang kini aku dapati adalah tak lebih dari seorang diri yang seolah begitu tak tentu arah.

Astaga. Sebegini mudahkah bagi Tuhan untuk membolak-balik hati seorang hamba?
Hingga batas antara keberingasan dan penyesalan menjadi sedemikian tipis untuk diseberangi, bahkan oleh aku yang terlampau lemah ini.

Lantas, apa salah bila aku membuat fatwa untuk sekedar membela diri? Bahwasanya, kala itu aku hanya sedang muak saja.
Muak saja aku pada kondisi diri kala itu.

Bukan, bukan muak pada takdirku yang telah di skenariokan Tuhan. Melainkan muak terhadap benda-benda semesta yang telah ku analogikan, tapi kian lama kian tak sesuai dengan kondisi yang tengah aku rasakan.

Namun selepas segala tetek bengek kemuakan itu mereda, aku mulai membuat suatu simpulan yang lain. Bukan untuk membela diri. Tetapi karena memang begitulah adanya logikaku bergelora.
Bahwa kurasa, menjadikan instrumen-instrumen langit itu bagian dari kiasan-kiasan dalam aksaraku, bukanlah suatu kesalahan kan?

Memangnya siapa pula yang berani-beraninya mendakwai alam fiktif dalam kepalaku ini? Ketika Tuhan bahkan telah berdalih, bahwa Dia tak akan pernah membiarkan hambanya benar-benar sendiri selagi masih dalam lingkup dunia fana ini.

Berarti bukan salahku, kan bila memilih angkasa dan atribut-atributnya menjadi teman dalam aku bercerita?

Jadi kini, mari kita mulai saja kembali.

Lupakan soal Bumi yang dulu, soal Bulan yang dulu, soal Bintang yang dulu, apalagi soal Mars yang dulu.
Karena mereka sudah benar-benar lalu. Dan aku sudah siap menerima mereka sebagai bagian dari masa laluku.

Tidakkah kau pernah dengar, bahwa awal dari proses menjadi pribadi yang lebih sejati adalah melakukan penerimaan atas diri.
Dan aku, kurasa sudah melakukannya. Dengan (cukup) baik.

Ya, semoga saja kelak aku sukses melakukan transformasi itu.

Hey, malam! Tidakkah kau mau meng-aamiin-i kalimat ‘semoga’ yang barusan kuucap itu?
Oh, tentu saja. Kau mengucapnya dalam hati saja ya?
Baiklah. Tak apa.

Kurasa, sudah dulu ya.
Selamat menyambut gulita!


21/11/’16
Dieny A.

Sebuah Pengakuan

Hai senja! Kali ini, izinkan aku memilihmu menjadi temanku bercerita, ya.
Dengarkan baik-baik, senja. Karena kali ini aku akan bercerita dengan sangat serius.

Kemarin lalu, aku sempat mengukir janji di kerak Bumi, bahwasanya aku akan mencari tau perasaan apa yang kala itu menerpaku.
Perasaan ketika aku ternyata lupa untuk menghitung jarakku dengannya, lupa bahwa aku tengah menantinya. Dan lupa-lupa lain yang berujung pada melupakannya.
Tidak sengaja melupakannya. Tidak sengaja menggeser prioritas akannya.

Kemarin lalu pula, aku sempat menerka bahwa perasaan ini adalah rasa kehilangan. Dan untuk beberapa waktu setelahnya, perasaan inilah yang aku percayai tengah menimpaku.
Tapi sekarang, aku mulai ragu. Apakah aku kehilangan?

Aku tidak kehilangan.
Awalnya aku memang merasa kehilangan. Ya, tentu saja wajar kalau aku kehilangan kan?
Siapa sih yang tidak kehilangan, bila sosok yang tadinya kau orbiti sepanjang waktu selama beberapa lama, tiba-tiba dijauhkan darimu?

Tidak ada. Aku yakin, tidak akan ada orang yang sanggup untuk tidak merasa kehilangan.
Tapi harusnya, si rasa kehilangan ini muncul pada awal-awal perpisahan, kan? Bukan belasan bulan setelah berjauhan.

Maka kusimpulkan, ini bukanlah kehilangan.
Ini bukanlah kehilangan akan si Bumi. Melainkan kehilangan atas si rasa kehilangan itu sendiri.

Kau paham, senja? Kau tidak paham?
Begini. Di tulisanku yang lalu-lalu, aku pernah mempertanyakan hal ini pada Bumi:
“Sebegitu tak pedulinya kah Bumi pada Bintang yang satu ini? Hingga jarak menjadi sebegitu berarti bagi keterlihatan sang Bintang dari sisi-sisi atmosfernya.”

Sekarang, aku menemukan jawabannya. Karena aku sudah merasakannya sendiri.
Bahwasanya jarak dan waktu memanglah sebegitu berarti dalam tiap-tiap fase keterkaitan antara dua insan.
Karena, terjadinya perubahan antar-fase itu juga boleh jadi karena adanya perubahan pada jarak dan waktu itu sendiri.
Perubahan pada jarak dan waktu yang mengkoneksikan keterkaitan dua insan tadi. Keterkaitan yang bukan karena Tuhan.

Tidak. Kau tak salah baca ,senja.
Aku memang mengatakan ‘keterkaitan yang bukan karena Tuhan’ barusan.

Miris memang. Ketika aku akhirnya mengaku bahwa aku memang menyadari keterikatan yang (tidak) sengaja tercipta ini tidaklah berorientasi kepada Sang Pencipta Ikatan itu sendiri.

Kau mau tahu, sejak kapan aku menyadari ini? Sejak... entahlah, aku lupa. Yang pasti sudah lama.

Tapi aku tak kunjung mengaku.
Kenapa? Karena aku tau bila aku mengaku, aku harus menghadapi kenyataan bahwa aku seharusnya melepaskan ikatan apapun yang telah (terlanjur) terjalin diantara kami. Yang mana aku tak sanggup melakukannya.

Aku terlalu takut kehilangan Bumiku. Bumi yang sebenarnya bahkan memang tak pernah aku miliki. Bumi yang berani-beraninya kuklaim sebagai milikku. Bumi yang membuatku sanggup mengklaim diri menjadi Bintang atau menjadi Mars. Bumi  yang membuat aku tega memanipulasi diriku sendiri dengan delusi-delusi imajinatif akan atribut semesta menjadi perandaian yang seakan kebetulan pas dengan kondisiku.

Aku terlalu memaksakan kondisi. Memaksa semesta untuk menyesuaikan dirinya akan kondisiku. Memaksa diriku untuk yakin bahwa akhir cerita ini akan sesuai dengan kehendakku. Dan parahnya, itu semua berarti memaksa Tuhan untuk membuat takdir yang sesuai dengan mauku. Sedangkan apa-apa yang kumau tadi tidaklah berorientasikan kepadaNya.

Oh senja, aku ini jahat ya? Ya, aku jahat.
Lihat semesta, lihat. Inilah diri yang kemarin lalu memaksa kalian berkonspirasi untuk memenangkan egonya.

Sekarang, aku ingin mengakui segalanya. Se-ga-la-nya.

Aku ingin mengakui bahwasanya aku muak menjadi Bintang, atau berpura-pura jadi Mars, atau berharap jadi Bulan, atau berharap punya Bulan sendiri, atau bahkan sekedar menggunakan istilah-istilah astronomi untuk memperindah perandaian yang telah kubuat.

Aku muak.
 Aku muak tenggelam dalam kondisi yang mana aku tahu sebenarnya ini adalah ujian namun sedemikian kunikmati sampai-sampai aku membuat ilusi sendiri. Aku ingin keluar dari dunia imaji ini. Ingin cepat-cepat lulus ujian untuk kembali ke dunia realitas.

Tapi aku juga ingin mengakui bahwa sesungguhnya aku takut akan dunia realitas itu. Aku takut akan segala probabilitas yang mungkin saja terjadi di dunia itu. Aku takut padahal aku tahu segala kemungkinan itu telah ada yang mengaturnya.

Haha. Bodoh.

Kurasa segala yang harus kulakukan hanyalah membuka lembar baru. Lalu menuliskan kisahku. Bukan kisah intstrumen-instrumen semesta yang sejatinya hanyalah benda-benda tak bernyawa. 
Menulis tentang diriku, yang hanya merupakan seorang pengagum langit. Bukan bagian dari benda-benda langit itu sendiri.

Dan langkah pertama yang harus kukerjakan adalah.
Melepasnya. Dengan ikhlas.

Lantas kalaupun kelak aku akan menunggu lagi, aku ingin melakukannya secara objektif. Dan tentu saja, berorientasi pada Sang Maha Pencipta takdir.

Jika kau menanyakan apakah aku bisa melakukannya? Ah, aku juga bertanya hal yang sama.
Bisa, senja. Pasti bisa. Meskipun tanganku begetar hebat saat mengetik ‘pasti bisa’ barusan, tapi aku yakin Sang Maha Penolong pasti akan menolong dan membuatku menjadi bisa.

Jadi, kurasa. Aku harus menjadikan lembar ini sebagai lembar terakhir dari kisah tentang aku, si sosok yang penuh kepura-puraan. Atau lembar kedua sebelum terakhir, atau ketiga, keempat.
Entahlah. Aku masih belum benar-benar membulatkan putusan. Mungkin nanti-nanti aku akan mampir kesini. Sekedar singgah, menjamahi masa lalu. Berkisah tentang aku yang baru, lantas meminta restu kalian: para kata yang telah menjadi saksi atas kenaifanku.

Terakhir sebelum pamit, izinkan aku mengutip beberapa untai paragraf dari sebuah buku berjudul ‘Ephemera’, untuk sosok yang baru saja kuputuskan berhenti memanggilnya Bumi:

“Jatuh. Terbangun. Jatuh. Patah. Jatuh lagi. Bangkit. Patah lagi. Menjadi perca. Lalu remuk. Bangkit. Jatuh lagi.
Proses yang malam ini ingin kuberhentikan dengan titik keberdirianku melawan segala rindu dan rasa takut kehilangan, untuk kembali pada titah-Nya. Semoga tak ada lagi jatuh tanpa tangan yang siap memberdirikan, mengajak bersisian menuju cinta-Nya. Aku takut. Takut sekali. Pada-Nya.
Maaf atas segala rasa yang pernah begitu berlebihan, atas bertumpuk-tumpuk rindu yang pernah dikirim angin, atas segala sakit yang sempat kita rasa, atas air mata tak tertahan, atas segala huruf yang pernah terangkai begitu saja, atas jatuh dan bangkit yang berseling membersamaiku, atas amarah dan benci yang aku tak berhak melakukannya. Semoga Sang Maghfiru memberikan ampunan-Nya padaku. Juga padamu. Bukankah kita sudah sama sama percaya bahwa ini semua hanya ephemera?”

Ah, paragraf ini sungguh telah menyeruakkan isi batinku yang selama ini terselubungi kepura-puraan.
Senja, aku pamit dulu ya.
Doakan juga aku agar bisa lulus ujian hati ini secepatnya.
Salam buat malam yang sebentar lagi mau menjelang.


16/10/’16
Dieny A.

Lupa Akan Menanti

Hey, Bumi.
Bagaimana kabarmu? Adakah kau rindu pada Mars-mu ini?

Haha, bercanda.
Aku tak mau tahu jawabanmu. Atau mencoba untuk tak tahu, mungkin.
Karena seperti biasa, aku takut tak siap dengan segala probabilitas jawabanmu.

Omong-omong, sudah berapa lama?
Sudah seberapa lama orbit memisah jarak kita? Atau, sudah seberapa jauh?
Adakah kau menghitungnya? Menghitung waktu, menghitung jarak, menghitung berapa lama lagi jarak ini akan menepi. Adakah kau menanti, Bumi?

Kau tau, ternyata aku tidak.
Aku tidak menghitung, aku tidak menanti. Bahkan, aku lupa bahwasanya sudah lama orbit kita tengah berjauhan sedemikian.

Aku lupa, haha.
Lucu bukan?

Mengingat bagaimana aku dulu menghitung jarak, menghitung detik, lantas membagi keduanya agar aku tau, kapan lagi orbit kita bersisian. Atau beriringan, atau sekedar berpapasan.
Ya, dulu aku menantikan semua itu. Menantikan setiap temu denganmu yang barangkali bisa tercipta. 

Dulu.
Dan sekarang, aku bisa-bisanya lupa. Lupa.

Tidakkah ini mengejutkanmu?
Atau hanya “oh, baguslah” lalu “ya sudah”?
Ya, tidak apa-apa sih. Terserah kamu.

Tapi asal kamu tahu, Bumi. Aku tidak merasa senang akan hal ini. Bahkan aku tidak tau harus merasa apa saat ini.
Aku hanya merasa kosong. Merasa sendiri.
Merasa, kehilangan, mungkin.
Ah, aku tidak tau. Belum tau. Dan akan mencari tau.


30/09/’16
Dieny A.

Merangkai Orion

Hai. Siapapun disana, ada yang bersedia kuajak bercerita?
Baiklah, aku cerita saja.
Semoga ada yang dengar, ya.

Ini soal Bintangnya Bumi.

Bermula dari dua malam lalu, aku tak begitu paham apa yang terjadi.
Tapi sepertinya, Bintang itu ikut berkonstelasi lagi dalam merangkai Orion.
Atau mungkin lebih tepatnya, diminta ikut berkonstelasi lagi dalam merangkai Orion.

 Tapi si Orion itu bukanlah selamanya terlihat, kan?
Paling barang sehari dua hari lantas tak tampak lagi dari atmosfer Bumi.

Aku heran, tidakkah Bintang lelah selalu menjadi yang sementara?
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, bagaimana pula aku bisa berharap jadi yang selamanya sedangkan semesta yang kita huni inipun hanya sementara adanya.

Dan, benarlah terjadi.
Maka, kini aku kembali jadi Bintang yang berlokasi di titik terjauh langit Bumi.
Jauh.

Ah, bahkan ketika cahayaku kemarin meredup pun Bumi tidak peduli.
Boro-boro peduli, tahu atau bahkan mau tahu pun tidak kurasa.

Sebegitu tak pedulinya kah Bumi pada Bintang yang satu ini?
Hingga jarak menjadi sebegitu berarti bagi keterlihatan sang Bintang dari sisi-sisi atmosfernya.

Haha. Entahlah.
Namanya juga Bintang, terlalu banyak di langit nan luas sana.
Ya sudah, terima saja nasibmu, ya. Bintang.


28/08/’16
Dieny A.