Hai senja! Kali ini, izinkan aku memilihmu menjadi
temanku bercerita, ya.
Dengarkan baik-baik, senja. Karena kali ini aku akan
bercerita dengan sangat serius.
Kemarin lalu, aku sempat mengukir janji di kerak Bumi, bahwasanya aku akan mencari tau
perasaan apa yang kala itu menerpaku.
Perasaan ketika aku ternyata lupa untuk menghitung jarakku
dengannya, lupa bahwa aku tengah menantinya. Dan lupa-lupa lain yang berujung
pada melupakannya.
Tidak sengaja melupakannya. Tidak sengaja menggeser
prioritas akannya.
Kemarin lalu pula, aku sempat menerka bahwa perasaan ini
adalah rasa kehilangan. Dan untuk beberapa waktu setelahnya, perasaan inilah
yang aku percayai tengah menimpaku.
Tapi sekarang, aku mulai ragu. Apakah aku kehilangan?
Aku tidak kehilangan.
Awalnya aku memang merasa kehilangan. Ya, tentu saja
wajar kalau aku kehilangan kan?
Siapa sih yang tidak kehilangan, bila sosok yang tadinya
kau orbiti sepanjang waktu selama beberapa lama, tiba-tiba dijauhkan darimu?
Tidak ada. Aku yakin, tidak akan ada orang yang sanggup
untuk tidak merasa kehilangan.
Tapi harusnya, si rasa kehilangan ini muncul pada awal-awal
perpisahan, kan? Bukan belasan bulan setelah berjauhan.
Maka kusimpulkan, ini bukanlah kehilangan.
Ini bukanlah kehilangan akan si Bumi. Melainkan kehilangan atas si rasa kehilangan itu sendiri.
Kau paham, senja? Kau tidak paham?
Begini. Di tulisanku yang lalu-lalu, aku pernah
mempertanyakan hal ini pada Bumi:
“Sebegitu tak pedulinya kah Bumi pada Bintang yang satu ini?
Hingga jarak menjadi sebegitu berarti bagi keterlihatan sang Bintang dari sisi-sisi atmosfernya.”
Sekarang, aku menemukan jawabannya. Karena aku sudah
merasakannya sendiri.
Bahwasanya jarak dan waktu memanglah sebegitu berarti
dalam tiap-tiap fase keterkaitan antara dua insan.
Karena, terjadinya perubahan antar-fase itu juga boleh
jadi karena adanya perubahan pada jarak dan waktu itu sendiri.
Perubahan pada jarak dan waktu yang mengkoneksikan
keterkaitan dua insan tadi. Keterkaitan
yang bukan karena Tuhan.
Tidak. Kau tak salah baca ,senja.
Aku memang mengatakan ‘keterkaitan yang bukan karena
Tuhan’ barusan.
Miris memang. Ketika aku akhirnya mengaku bahwa aku memang
menyadari keterikatan yang (tidak) sengaja tercipta ini tidaklah berorientasi
kepada Sang Pencipta Ikatan itu sendiri.
Kau mau tahu, sejak kapan aku menyadari ini? Sejak...
entahlah, aku lupa. Yang pasti sudah lama.
Tapi aku tak kunjung mengaku.
Kenapa? Karena aku tau bila aku mengaku, aku harus menghadapi
kenyataan bahwa aku seharusnya melepaskan ikatan apapun yang telah (terlanjur)
terjalin diantara kami. Yang mana aku tak sanggup melakukannya.
Aku terlalu takut kehilangan Bumiku. Bumi yang
sebenarnya bahkan memang tak pernah aku miliki. Bumi yang berani-beraninya kuklaim sebagai milikku. Bumi yang membuatku sanggup mengklaim
diri menjadi Bintang atau menjadi Mars.
Bumi yang membuat aku tega
memanipulasi diriku sendiri dengan delusi-delusi imajinatif akan atribut
semesta menjadi perandaian yang seakan kebetulan pas dengan kondisiku.
Aku terlalu memaksakan kondisi. Memaksa semesta untuk
menyesuaikan dirinya akan kondisiku. Memaksa diriku untuk yakin bahwa akhir
cerita ini akan sesuai dengan kehendakku. Dan parahnya, itu semua berarti
memaksa Tuhan untuk membuat takdir yang sesuai dengan mauku. Sedangkan apa-apa
yang kumau tadi tidaklah berorientasikan kepadaNya.
Oh senja, aku ini jahat ya? Ya, aku jahat.
Lihat semesta, lihat. Inilah diri yang kemarin lalu
memaksa kalian berkonspirasi untuk memenangkan egonya.
Sekarang, aku ingin mengakui segalanya. Se-ga-la-nya.
Aku ingin mengakui bahwasanya aku muak menjadi Bintang, atau berpura-pura jadi Mars, atau berharap jadi Bulan, atau berharap punya Bulan sendiri, atau bahkan sekedar
menggunakan istilah-istilah astronomi untuk memperindah perandaian yang telah
kubuat.
Aku muak.
Aku muak tenggelam
dalam kondisi yang mana aku tahu sebenarnya ini adalah ujian namun sedemikian
kunikmati sampai-sampai aku membuat ilusi sendiri. Aku ingin keluar dari dunia
imaji ini. Ingin cepat-cepat lulus ujian untuk kembali ke dunia realitas.
Tapi aku juga ingin mengakui bahwa sesungguhnya aku takut
akan dunia realitas itu. Aku takut akan segala probabilitas yang mungkin saja
terjadi di dunia itu. Aku takut padahal aku tahu segala kemungkinan itu telah
ada yang mengaturnya.
Haha. Bodoh.
Kurasa segala yang harus kulakukan hanyalah membuka
lembar baru. Lalu menuliskan kisahku. Bukan kisah intstrumen-instrumen semesta
yang sejatinya hanyalah benda-benda tak bernyawa.
Menulis tentang diriku, yang
hanya merupakan seorang pengagum langit. Bukan bagian dari benda-benda langit
itu sendiri.
Dan langkah pertama yang harus kukerjakan adalah.
Melepasnya. Dengan ikhlas.
Lantas kalaupun kelak aku akan menunggu lagi, aku ingin
melakukannya secara objektif. Dan tentu saja, berorientasi pada Sang Maha
Pencipta takdir.
Jika kau menanyakan apakah aku bisa melakukannya? Ah, aku
juga bertanya hal yang sama.
Bisa, senja. Pasti bisa. Meskipun tanganku begetar hebat
saat mengetik ‘pasti bisa’ barusan, tapi aku yakin Sang Maha Penolong pasti
akan menolong dan membuatku menjadi bisa.
Jadi, kurasa. Aku harus menjadikan lembar ini sebagai
lembar terakhir dari kisah tentang aku, si sosok yang penuh kepura-puraan. Atau
lembar kedua sebelum terakhir, atau ketiga, keempat.
Entahlah. Aku masih belum benar-benar membulatkan
putusan. Mungkin nanti-nanti aku akan mampir kesini. Sekedar singgah, menjamahi
masa lalu. Berkisah tentang aku yang baru, lantas meminta restu kalian: para
kata yang telah menjadi saksi atas kenaifanku.
Terakhir sebelum pamit, izinkan aku mengutip beberapa untai
paragraf dari sebuah buku berjudul ‘Ephemera’, untuk sosok yang baru saja
kuputuskan berhenti memanggilnya Bumi:
“Jatuh. Terbangun. Jatuh. Patah.
Jatuh lagi. Bangkit. Patah lagi. Menjadi perca. Lalu remuk. Bangkit. Jatuh
lagi.
Proses yang malam ini ingin kuberhentikan
dengan titik keberdirianku melawan segala rindu dan rasa takut kehilangan,
untuk kembali pada titah-Nya. Semoga tak ada lagi jatuh tanpa tangan yang siap
memberdirikan, mengajak bersisian menuju cinta-Nya. Aku takut. Takut sekali.
Pada-Nya.
Maaf atas segala rasa yang pernah
begitu berlebihan, atas bertumpuk-tumpuk rindu yang pernah dikirim angin, atas
segala sakit yang sempat kita rasa, atas air mata tak tertahan, atas segala
huruf yang pernah terangkai begitu saja, atas jatuh dan bangkit yang berseling
membersamaiku, atas amarah dan benci yang aku tak berhak melakukannya. Semoga
Sang Maghfiru memberikan ampunan-Nya padaku. Juga padamu. Bukankah kita sudah
sama sama percaya bahwa ini semua hanya ephemera?”
Ah, paragraf ini sungguh telah menyeruakkan isi batinku
yang selama ini terselubungi kepura-puraan.
Senja, aku pamit dulu ya.
Doakan juga aku agar bisa lulus ujian hati ini
secepatnya.
Salam buat malam yang sebentar lagi mau menjelang.
16/10/’16
Dieny A.